بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Khotbah Jum’at
Sayyidina Amirul Mu’minin
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Tanggal 17 Zhuhur 1391 HS/Agustus 2012
Di Masjid Baitul Futuh, London.
أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
(١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣)
مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥)
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)الرَّح
ْمَن
]لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ
وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا[ (الأحزاب: 22)
]قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ[ (آل عمران: 32)
Terjemahan ayat-ayat ini ialah sebagai berikut, ayat pertama adalah dari
surah al Ahzab yaitu; “Sesungguhnya kamu dapati dalam diri Rasulullah suri
teladan yang sebaik-baiknya bagi orang yang mengharapkan bertemu dengan Allah
dan Hari Kemudian dan yang banyak mengingat Allah.” (Al Ahzab ayat 22).
Ayat kedua yang berasal dari Surah Ali Imran: “Katakanlah, jika kamu
mencintai Allah, maka ikutilah aku. Allah akan mencintai kamu dan mengampuni
dosa-dosa kamu. Dan Allah Maha Pengampun terhadap hamba-hamba-Nya.” (Ali Imran ayat 32)
Pentingnya Suri Teladan
Allah Ta’ala telah mengatakan kepada kita, untuk
menjadi pewaris
karunia-karunia, ihsan
(kebaikan-kebaikan) dan nikmat-nikmat Nya, maka, “Jadilah hamba-hamba-Ku!
Jadilah hamba-hamba-Ku yang mengamalkan perintah-perintah-Ku!” Dalam Khotbah Jum’at
yang lalu telah dijelaskan bahwa dengan melaksanakan perintah-perintah Allah Ta’ala manusia dapat memasukkan dirinya kedalam
golongan yang meraih ‘haqiqi ubudiyyat (penghambaan yang sejati), dan untuk maksud
itu Allah Ta’ala telah
menurunkan perintah-perintah-Nya yang tak terhitung banyaknya, yang kita harus berusaha
berjalan diatasnya supaya kita dapat menjadi pembenar perintah Allah ini
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي “maka hendaklah mereka menyambut seruan-Ku dan beriman kepada-Ku.” (Al-Baqarah, 2:187). Setelah menjadi orang
yang membenarkannya akan menjadikannya seorang mu’min yang mewarisi karunia-karunia Allah Ta’ala, menjadi hamba Allah yang sejati, menjadi orang yang meraih
kabar-kabar gembira dari Allah Ta’ala, dan
menjadi orang yang menyaksikan pemandangan pengabulan doa-doa.
Petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah Allah Ta’ala ada dalam Al-Qur’an yang dapat dibaca dan didengar, namun, Allah
Ta’ala telah meletakkan hal demikian
dalam fitrat manusia, yaitu, mereka umumnya lebih banyak tertarik dan terkesan oleh contoh atau teladan secara amalan dibandingkan dengan membaca dan
mendengarkan bacaan. Ada semacam getaran hati, hasrat dan kerinduan yang timbul di dalamnya [untuk meniru]. Dan,
ketika seseorang mengakui telah mencintai seseorang lainnya maka insan itu berusaha
meniru setiap gerak-gerik dan amal
perbuatan mahbub (yang dicintainya)
itu, dan corak warna amal perbuatannya pun menjadi berubah lain lagi.
Tapi, apabila penzahiran kecintaan
dan dikarenakan kecintaan itu ia menjadikan kekasihnya sebagai teladan dengan iman
yang tak berhingga, lalu keinginan seorang mu’min
tidak ada yang lebih besar dibanding hal itu, dan memang tidak ada yang
lebih besar dari itu, maka ia akan menyenangkan hati kekasihnya itu, sambil
menjaga keselamatan keimanannya dan memajukan imannya tersebut.
Kita beruntung sekali karena Allah Ta’ala
telah menjadikan kita umat dari Hadhrat Rasulullah s.a.w., dan Dia telah
menjadikan beliau s.a.w. satu teladan dalam pengamalan seluruh perintah yang
telah turun kepada beliau s.a.w. dalam bentuk Al-Qur’an; satu contoh keteladanan praktis yang sempurna,
yang Dia telah menjadikan beliau s.a.w. ‘abd
kaamil (hamba sempurna).
Ayat-ayat yang telah saya tilawatkan mengarahkan kepada perkara itu,
bahkan diperintahkan, bahwa seorang Muslim, seorang beriman akan sempurna pengakuan
keimanannya saat itu, tatkala ia dapat meraih qurb Allah Ta’ala apabila,
“Ia berjalan mengikuti langkah dan suri teladan Rasul-Ku shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa itu iman manusia akan kosong. Tanpa
mengikuti suri teladan itu maka
mengharapkan nikmat-nikmat di akhirat adalah harapan sia-sia. Tanpa mengikuti
teladan itu, suatu amal baik tidak dapat dikatakan amal baik. Tanpa mengikuti
teladan itu, ibadah manusia tidak dapat dikatakan ibadah. Tanpa mengikuti teladan itu, zikir Ilahi tidak dapat
dikatakan zikir yang dapat mencapai maqam
(kedudukan) yang membuat manusia dekat dengan Allah Ta’ala.
Tanpa mengikuti teladan itu, tidak mungkin manusia mendapat keselamatan
dari dosa-dosa. Tanpa mengikuti teladan itu, kalian tidak akan dapat memperoleh
bagian dari kasih sayang Allah Ta’ala yang
untuk itu kalian senantiasa memelas memintanya.” Tanpa berjalan diatas
keteladanan itu, manusia tidak akan dapat meraih kecintaan Allah Ta’ala karena beliau s.a.w. adalah hamba
Tuhan yang paling dicintai-Nya. Jika tidak mengikuti beliau s.a.w., manusia
takkan dapat menemukan kecintaan Allah Ta’ala.
Pendek kata, seperti telah saya sampaikan inilah keberuntungan yang
menggembirakan kita bahwa kita menjadi orang-orang Muslim, akan tetapi kita baru
segera dapat meraih faidh (manfaat) dari
menjadi umat beliau s.a.w. dan menjadi Muslim apabila kita berusaha berjalan
mengikuti langkah-langkah beliau s.a.w.. Apabila kita hidup dengan berusaha
mengamalkan perintah-perintah tersebut sedemikian rupa upayanya sebagaimana Hadhrat
Rasulullah s.a.w. telah mengamalkannya dan memperlihatkannya untuk kita.
Makna Hadits, Sang
Imam adalah Perisai
Dengan bersabda, الإمام جُنّة Al-imaamu junnah (Sang Imam adalah perisai, pelindung)[2]; beliau s.a.w. mengingatkan kita pada bahasan ayat itu,
“Contoh keteladanankulah yang bagi kalian menjadi sarana pelindung kalian
dari setan dan menjadikan kalian dapat menjadi hamba yang hakiki dan sama
sekali bukan upaya-upaya kalian sendiri. Tetaplah mengikuti langkah-langkahku
di belakangku supaya kalian senantiasa akan selamat dari setan. Soal ibadah
janganlah kalian menganggap bahwa bila kalian mengerjakan suatu amal yang tidak
kulakukan maka akan membuat kalian dapat menunaikan hak ibadah atau dapat meraih
kecintaan Allah Ta’ala. Tidak; tidak
dapat demikian.”
Pada zaman sekarang ini berkat ihsan
Hadhrat Masih Mau’ud a.s., seorang pencinta hakiki beliau s.a.w.; beliau a.s.
telah memberi bimbingan kepada kita untuk memahami dan mengamalkan suri teladan
Hadhrat Rasulullah s.a.w.. Beliau a.s. telah menjelaskan kepada kita bahwa bid’ah-bid’ah
dalam peribadatan yang tidak
ada dalam contoh Hadhrat Rasulullah s.a.w. tidak akan dapat meraih qurb (kedekatan) Allah Ta’ala.[3] Oleh
karena itu, mengamalkan keteladanan beliau s.a.w. itu adalah sangat penting demi
meraih qurb Allah Ta’ala.
Kedudukan Hadhrat
Rasulullah s.a.w.
Pada waktu ini saya akan mengemukakan tentang suri teladan Hadhrat
Rasulullah s.a.w., beberapa contoh praktis amal perbuatan beliau s.a.w.. Tetapi
sebelum itu saya ingin menyampaikan mengenai keteladanan ibadah-ibadah dan akhlak-akhlak beliau s.a.w. yang
merupakan tuntunan bagi kita, yang dengan mengamalkannya kita dapat menjadi hamba
hakiki Allah Ta’ala, dan dapat
meraih kecintaan-Nya. Saya ingin terlebih dahulu menyampaikan penjelasan Hadhrat
Masih Mau’ud a.s. mengenai apa-apa yang beliau a.s. tulis tentang kedudukan
Hadhrat Rasulullah s.a.w..
Sayyidina Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى
أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ
جَمِيعًا “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-ku yang telah
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus harapan
akan rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa.’” (Az-Zumar,
39:54).
Dalam ayat ini tidak menyebut "قل يا عباد الله" ‘Qul yaa ‘ibaadallah’ - “Hai hamba-hamba Allah!” melainkan قُلْ يَا عِبَادِيَ ‘Qul yaa ‘ibaadii’ - “Hai
hamba-hamba-ku!” Ayat ini diwahyukan dalam bentuk panggilan demikian
agar Allah Ta’ala menyampaikan berita
gembira tentang rahmat-Nya yang tidak terbatas dan menghibur mereka yang telah
putus harapan disebabkan banyaknya perbuatan dosa-dosa mereka. Jadi, Allah Ta’ala dalam ayat ini ingin menunjukkan
satu contoh Kasih Sayang-Nya dan menzahirkan kepada hamba-Nya, ‘Sampai kapan
pun Aku akan memuliakan hamba-Ku yang setia dengan karunia-Ku yang istimewa.’ (disampaikan
kepada orang-orang yang putus harapan karena banyaknya dosa bahwa rahmat Allah Ta’ala demikian luas dan begitu pula
nikmat-nikmat-Nya)
Bersabda, “Dengan menggunakan bentuk kalimat ‘Katakan, “Hai hamba-hamba-ku!”’ Dia menunjukkan, ‘Lihatlah
utusan-Ku yang tercinta! Perhatikanlah hamba yang luar biasa itu! Betapa tinggi
martabatnya berkat ketaatan yang kamil terhadap-Ku sehingga natijahnya apa yang
Aku miliki sekarang menjadi miliknya. Barangsiapa yang menginginkan keselamatan
ia harus menjadi ghulamnya [hamba
atau sahaya atau budak rasul tersebut, yaitu Nabi Muhammad s.a.w.]. Dalam kata
lain, dia harus taat secara fana sedemikian rupa kepadanya sehingga seakan-akan
menjadi hamba-sahayanya. Maka dosa apapun yang telah dia lakukan di masa lalu
akan diampuni.
Ketahuilah! Perkataan "عبد" abd didalam
Bahasa Arab artinya hamba-sahaya. Sebagaimana Tuhan Yang Mahaperkasa berfirman وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ ”hamba-sahaya laki-laki mu’min lebih baik dari pada laki-laki
musyrik.” (Al Baqarah, 2:222). Dalam ayat ini diisyaratkan pada hal ini
yaitu barangsiapa menginginkan keselamatannya, ia harus menjalin hubungan
sebagai seorang hamba-sahaya dengan Nabi itu [Nabi Muhammad s.a.w.]. Dalam kata
lain, dia jangan melangkah diatas jalan yang bertentangan dengan perintah
beliau s.a.w. dan harus menganggap dirinya selalu terikat dengan beliau s.a.w.
seperti seorang hamba-sahaya terikat dengan majikannya.
“Barulah dia akan memperoleh keselamatan. Terkait kedudukan beliau s.a.w.
ini ada keberatan dari orang-orang yang menyatakan diri Muwahhid yang mempunyai
kedengkian terhadap Hadhrat Rasulullah s.a.w., menurut mereka nama-nama seperti
Ghulam Nabi, Ghulam Rasul, Ghulam Mustafa, Ghulam Ahmad dan Ghulam Muhammad termasuk
sebagai syirik. [4]
Padahal dari ayat itu diketahui bahwa poros keselamatan adalah ada pada
nama-nama inilah.” (yakni kalau nama-nama itu diberikan karena kecintaan dan
amal perbuatannya baik atau dalam nama-nama itu dibuat penghambaan atas sifat-sifat
itu maka ia akan mendapatkan keselamatan darinya.
Bukanlah maksudnya bahwa dengan semata-mata diberikan nama-nama itu maka
akan mendapatkan keselamatan, yakni diberikan nama-nama itu kemudian terus
menerus berbuat keburukan sesuka hatinya maka manusia akan mendapat
keselamatan. Ini tidaklah demikian. Hal ini yang dikatakan, “Janganlah keluar
dari hukum. Janganlah keluar dari perintah-perintah Rasulullah s.a.w..” Inilah
kalimat yang memiliki keistimewaan yang sangat penting. Hendaknya kalimah tersebut direnungkan.)
Kewajiban Seorang
Hamba
Selanjutnya beliau a.s. bersabda, “Karena pengertian dari pada ‘abd (hamba, budak) mengisyarahkan bahwa
orang yang diberi nama demikian harus berusaha agar ia menjaga diri dari setiap
kebebasan dan menuruti kehendaknya sendiri” (yakni ubudiyyat atau penghambaan ada ketika tidak ada kebebasan bagi
dirinya, tidak ada keputusan dari dirinya sendiri, apa yang dia inginkan dia
kerjakan, keluar dari kondisi itu) “dan ia taat sepenuhnya kepada majikannya.
Oleh sebab itu para pencari kebenaran telah ditekankan, ‘Apabila kalian
betul-betul ingin mendapat keselamatan, timbulkanlah pengertian ini dalam diri
kalian.’
Ayat itu mempunyai makna serupa dengan ayat berikut ini قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ “Katakanlah!
Jika kamu mencintai Allah ikutilah aku maka Allah akan mencintai kamu dan Dia
akan memaafkan dosa-dosa kamu.” (Ali Imran, 3:32). (ayat pertama yang
telah dibaca dan ayat ini, pengertiannya satu) “Karena perihal mengikuti dengan
sempurna harus ada kefanaan dan ketaatan sepenuhnya.” (yakni seseorang yang
mengikuti jejak langkah seseorang lainnya dan yang mengikuti dengan sangat, ia
wajib menaati dengan sempurna, yang akan taat maka akan mengikut, mengikuti
langkahnya)
Beliau a.s. bersabda, “hal mana
pengertian tersebut ditemui dalam kata `abd.” (kalimat sempurnanya akan
menjadi...) Karena perihal mengikuti dengan sempurna harus ada kefanaan dan ketaatan
sepenuhnya, hal mana pengertian tersebut ditemui dalam kata `abd. Inilah
rahasianya bahwa sebagaimana dalam ayat pertama terdapat janji pengampunan bahkan
berita gembira bahwa manusia dapat menjadi kekasih Ilahi, seakan akan ayat ini قل يا عبادي... Qul yaa `ibadii wahai hamba-hambaku dalam perkataan keduanya adalah "قل يا
متبعي"
Qul yaa muttabi`i. Yakni, ‘Wahai para pengikutku yang telah
terjerumus dalam banyak dosa! Janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sebab
berkat kalian mengikuti langkah-langkahku, Allah Ta’ala mengampuni semua dosa kalian.’
Jika perkataan ibaad atau hamba-hamba
dalam ayat tersebut diartikan sebagai hamba Allah, maka pemaknaannya pun akan
rusak. Sebab, hal ini adalah tidak benar bahwa tanpa memberi syarat keimanan
dan syarat mengikuti [Nabi s.a.w.], seluruh orang Musyrik dan Kafir otomatis juga
diampuni.” Yakni, jika dalam keimanan tidak sempurna dan dalam hal mengikuti
tidak sempuna maka ia tidak diampuni, karena jika demikian, maka berarti Allah
juga sama-sama mengampuni semua penyembah berhala dan yang ingkar. Bersabda, “Pemaknaan
demikian akan bertentangan dengan pernyataan jelas dari Al-Qur’an.“ [5]
Jadi, ini adalah kabar gembira bagi orang-orang yang taat secara
sempurna kepada Hadhrat Rasulullah s.a.w. dan mengikuti sepenuhnya jejak
langkah beliau s.a.w., sebab berkat mengikuti sepenuhnya jejak langkah beliau s.a.w.
maka dosa-dosa besarnya akan dimaafkan. Seperti telah saya katakan, sekarang ini
saya akan menyampaikan contoh uswah
(keteladanan) beliau s.a.w.. Dalam bulan Ramadhan ini Allah Ta’ala telah menciptakan lingkungan
seperti ini, dan setiap tahun ketika datang bulan Ramadhan maka lingkungan yang
tercipta itu memberikan perhatian pada amal kebaikan dan ibadah-ibadah, dan
inilah yang tengah terjadi sekarang, maka jika seseorang betul-betul ingin
menjadi ‘abd (hamba) dan menjadi kesayangan Allah Ta’ala sangat penting sekali mengikuti
jejak langkah keteladanan beliau s.a.w. secara terus-menerus bukan hanya untuk sementara atau
di waktu kesempatan tertentu saja.
Pentingnya Memiliki
Tekad dan Kontinyuitas Kebaikan
Amal perbuatan atau contoh keteladanan beliau s.a.w. tidak terbatas
hanya dalam satu aspek saja dan bukan pula hanya di waktu bulan Ramadhan saja,
bahkan menurut Hadhrat Aisyah rha "كان خلقه القرآن" ‘Kaana khuluuquhul Qur`aan’ seluruh
kehidupan beliau s.a.w.. Akhlak beliau s.a.w. adalah Al-Qur’an. [6]
Jadi, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. telah
bersabda bahwa ayat ini menunjukkan secercah harapan kepada orang-orang yang
putus harapan dikarenakan banyaknya dosa-dosa mereka, dan itu tidak akan
terwujud kecuali setelah mengikat tekad untuk memimpin diri sendiri mengikuti uswah beliau s.a.w. itu, bukan hanya
kebulatan tekad saja tetapi harus beramal dan terus menerus teratur mengamalkannya.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. juga menulis, “Di sini harus diingat bahwa
intisari dari ayat itu adalah (yang menjadi intisari ayat ini atau yang menjadi
topik mendasarnya atau yang menjadi maksudnya ialah) bahwa orang-orang yang jiwa
dan raga mereka menjadi milik engkau (Hadhrat Rasulullah s.a.w.) atau menjadi
hamba sahaya Rasul Allah. Kepada mereka akan dianugerahi cahaya iman, kecintaan
dan isyq (keasyikan), yang akan
membersihkan mereka dari ghairullah (selain
Allah), menyelamatkan mereka dari semua dosa, dan akan dianugerahkan kepada
mereka kehidupan yang suci di dunia ini, dan mereka akan dikeluarkan dari
segala macam hasrat hawa nafsu dan kegelapan kubur.” (satu tujuan dari Ramadhan
adalah menginginkan keridhaan Allah Ta’ala,
menjadi milik-Nya juga beribadah kepada-Nya. Dan jika ini murni selamat dari ghairullah (selain Allah) maka untuk
menyempurnakannya penting mengikuti contoh terbaik Hadhrat s.a.w..
Beliau a.s. bersabda) dan akan dianugerahkan kepada mereka kehidupan
yang suci di dunia ini, dan mereka akan dikeluarkan dari segala macam hasrat
hawa nafsu dan kegelapan kubur.” (bagi mereka yang mengikutinya) Hal itu telah
diisyaratkan dalam hadits ini "أنا الحاشر الذي يُحشر الناس على قدمي يوم القيامة" “Aku adalah yang menghimpun (menghidupkan) orang-orang
mati yaitu beliau orang yang menghimpun (menghidupkan) orang-orang di kakinya.”[7] (maksud
dari terkumpul di telapak kakiku ialah adalah orang-orang yang mengikuti aku, berjalan
mengikuti jejak langkahku)
Beliau a.s. bersabda, “Jelaslah bahwa Al-Qur’an penuh dengan kalimat kiasan
yang menyatakan bahwa dunia sudah mati kemudian Allah Yang Mahakuasa
menghidupkan kembali dengan mengutus Nabi ini yang adalah Khatamul Anbiya s.a.w.
(Nabi Muhammad). Sebagaimana firman-Nya: اعلموا أن الله يُحيي الأرض بعد موتها “Ketahuilah
bahwa Allah menghidupkan bumi setelah kematiannya.” (Al-Hadid, 57:18).
Seperti itu juga mengenai para sahabat beliau s.a.w., Allah Ta’ala berfirman: وأيدهم
بروح منه yakni, Dia memberikan pertolongan dengan ruhul qudus (ruh suci) (Al-Mujadalah,
58:23), dan pertolongan ruhul qudus [artinya]
adalah demikian bahwa menghidupkan hati, menyelamatkan dari kematian rohaniah,
memberi kekuatan yang suci, indra-indra yang suci dan ilmu pengetahuan yang
suci, dan yang membawa manusia dekat dengan Allah Ta’ala melalui uluum yaqiniyyah
(ilmu pengetahuan yang meyakinkan) dan baraahin
qath’iyyah (argumen yang pasti). [8]
Apa itu Kehidupan Rohaniah?
Apakah diselamatkan dari kematian rohaniah itu? Ini adalah nama dari
mengorbankan keinginan-keinginan duniawi. Ini adalah nama dari mengorbankan
nafsu diri sendiri yang mengenainya Allah Ta’ala
berulang kali memberikan perhatian dalam Al-Qur`anul Karim. Ini adalah nama
dari mendahulukan melangkahkan kaki mencari keridhaan Allah Ta’ala. Oleh karena para sahabat ra ini
telah mengerjakan semuanya maka Allah Ta’ala
menganugerahkan kehidupan rohaniah dalam hati mereka.
Kepada mereka dianugerahkan kekuatan kesucian yang dengannya mereka
bertarung dengan setan. Pikiran mereka disucikan. Kepada mereka dianugerahi ilmu
pengetahuan Al-Qur’an, yang dengan itu membawa mereka keyakinan dan keimanan
mereka ke tingkat puncak. Mereka telah `ainul
yaqin pada Dzat Allah Ta’ala. Mereka sendiri telah melihat
pemandangan Qudrat (kekuasaan) Allah Ta’ala dan mereka telah meraih qurb (kedekatan) dengan-Nya. Semua hal ini
diperoleh berkat mengikuti Aqa-o-Maula (Majikan
dan Junjungan) mereka, Hadhrat Rasulullah s.a.w., dan mereka memperoleh
pengertian yang bertambah-tambah tentang perintah Allah Ta’ala berikut ini والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا “Dan barangsiapa yang
berusaha keras di jalan Kami – Kami pasti akan memberi petunjuk kepada
mereka di jalan Kami.” (Al Ankabut, 29:70). Dan semua ini seperti
pernah saya katakan, mereka peroleh dengan berusaha berjalan pada uswatun hasanah (contoh terbaik) dari Hadhrat
S.a.w..
Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Ilmu-ilmu ini yang padanya
terletak orbit keselamatan tidak dapat diperoleh dengan pasti dan meyakinkan
tanpa menjalani kehidupan melalui sarana ruhul
qudus (ruh suci), dan Kitab Suci Al-Qur’an telah menegaskan dengan sangat
lantang bahwa kehidupan rohaniah itu dapat diperoleh hanya dengan jalan
mengikuti jejak langkah Rasul Karim ini s.a.w.”. Yakni ilmu pengetahuan yang
telah disinggung yaitu keselamatan ada dalam ilmu-ilmu kerohanian, dianugerahkannya
kekuatan penyucian, indra-indra yang disucikan dan dianugerahkannya ilmu
kesucian.
Sabda beliau a.s. bahwa pusat keselamatan ini, ilmu-ilmu yang menjadikan
penyebab keselamatan, ini tidak dapat diperoleh demikian saja yaitu manusia
hanya berusaha sendiri di kehidupan ini, melainkan diperoleh manusia melalui
sarana ruhul qudus. Beliau a.s. bersabda,
“Al-Qur`anul Karim dengan lantang berseru, kehidupan rohaniah didapat dengan hanya oleh pengikut Rasul
Karim S.a.w..” (ini bukannya kehidupan jasmani, melainkan kehidupan rohaniah
yang diperoleh dengan berjalan dan mengikuti contoh terbaik Hadhrat s.a.w.)
Bersabda, “Dan semua orang yang meninggalkan ketaatan terhadap beliau s.a.w.
adalah mati kehidupannya” (yakni kehidupan kerohanian ini) “tidak ada ruhnya sedikitpun.”
Kemudian bersabda, “..dan kehidupan rohaniah artinya kekuatan ilmu dan amal
perbuatan seorang insan yang hidup dengan pertolongan ruhul qudus.
Dari Al-Qur’an terbukti bahwa hukum-hukum Allah Ta’ala yang Dia ingin agar manusia menegakkannya jumlahnya ada 600
buah. Sesuai dengan itu jumlah sayap Jibril ‘alaihis
salaam juga ada 600 buah, dan bilamana ‘tempat pembuahan telur’ kemanusiaan
tidak berada dibawah naungan ke-600 hukum dibawah sayap Malaikat Jibril, dari
dalamnya tidak dapat terlahir anak yang fana fillah (fana dalam Allah). (yakni diberikan
contoh jika seorang manusia tidak berjalan dibawah 600 hukum itu, tidak
mengamalkan, maka ia tidak dapat menjadi seorang yang fana fillah. Anak itu tidak akan terlahir, yaitu yang memperoleh qurb Allah Ta’ala. “Dalam diri hakikat kemanusiaan terdapat enam ratus telur (benih)
kapasitas.” Ini bukanlah hal sulit. Allah Ta’ala
telah memberikan dalam fitrat manusia kekuatan yang bila ia ingin, ia
meletakkan kekuatannya untuk menjalani perintah-perintah itu, ia akan mampu
mengamalkannya.
Bersabda, “Seorang yang 600 benih kemanusiaannya dinaungi oleh 600
kapasitas sayap Malaikat Jibril adalah manusia sempurna yang kelahiran rohaniahnya
sempurna dan yang kehidupannya juga sempurna.” Yakni, bila hal-hal ini diraih
maka akan terjadi kelahiran rohaniah hakiki dan ditemukan pula kehidupan rohaniah
hakiki. Oleh karena itu, berusahalah menjunjung tinggi perintah-perintah yang
600 buah jumlahnya itu.
Bersabda, “Dengan mengamati dan merenungkan dalam-dalam dapat diketahui
bahwa anak-anak rohaniah yang lahir dari tempat pembuahan kemanusiaan berkat
mengikuti Hadhrat s.a.w. dan ma’rifat
ruhul qudus, dari segi kammiyat dan kaifiyat, dari segi corak bentuknya,
dari segi macam dan jenisnya, dari segi keadaan lebih lengkap dan lebih
sempurna daripada anak-anak rohaniah semua nabi.” Yakni, anak-anak rohaniah
yang lahir dalam diri manusia dengan mengikuti Hadhrat s.a.w., yang dihiasi
dengan sifat-sifat rohani, terukur dari segi kammiyat dan kaifiyat, juga dengan
mengukur dari segi corak bentuknya, juga dengan mengukur dari segi macam dan
jenisnya; dalam segala keadaan mendatangkan revolusi kerohanian yang lebih
besar daripada anak-anak rohaniah semua nabi yang lain. Dan bersabda,”Firman Allah Ta’ala ini mengisyaratkan kepada hal
itu, كنتم خيرَ أمة أُخرجتْ للناس ‘Kuntum khaira
ummatin ukhrijat linnaas.’ - “Kamu adalah umat terbaik yang telah dibangkitkan
demi perbaikan umat manusia.” (Ali Imran, 3:111).[9]
Pentingnya Revolusi Rohaniah
Setelah dinyatakan sebagai umat terbaik, seperti banyak kita dengar dalam
ceramah-ceramah bertemakan “Khaira ummah”
maka untuk menjadi umat terbaik itu adalah penting dengan berusaha menciptakan ruhani inqilaab (perubahan rohaniah
dengan cepat) seperti yang telah diajarkan kepada kita. Apa-apa yang disebutkan
oleh Hadhrat s.a.w.. Apa-apa yang ada penyebutannya didalam Al-Qur`an Karim. Maka
jika perubahannya pada diri sendiri seperti ini, ketika manusia mencapai maqam (kedudukan) ini maka barulah ia
dapat memperbaiki orang-orang lainnya.
Pekerjaan ishlah (perbaikan)
akan berhasil dan kemudian akan berbuah apabila kita berusaha berjalan pada uswah
(keteladanan) Rasul s.a.w. itu. Kita harus selalu merenungi kehidupan kita
berdasarkan keteladanan beliau s.a.w. itu. Kita harus setiap waktu mengadakan
koreksi terhadap diri sendiri dan merenungkan apakah kerohanian kita mengalami
kemajuan atau sampai dimana kita harus berusaha mencapainya.
Kita harus mengamati perihal dimana, dalam hal apa, bagaimana dan sejauh
mana upaya kita untuk mengamalkan perintah-perintah Allah Ta’ala yang tercantum dalam Al-Qur’an. Maka barulah kita akan
menciptakan inqilaab dalam diri kita sendiri. Barulah kita akan dapat menyampaikan amanat
hakiki Islam ke seluruh dunia. Sungguh,
tidak diragukan lagi bahwa orang yang berdosa dapat menjadi seorang ‘Abd
atau hamba Allah Ta’ala, akan
tetapi dengan cara ia berusaha sekuat tenaga mengikuti jejak langkah uswah
hasanah Hadhrat Nabi Muhammad s.a.w., dan untuk itu ia melakukan dengan seluruh
kekuatan dan usahanya sehingga semua dosa-dosanya dapat dimaafkan.
Semaksimal Mungkin Memenuhi
Hak Syukur Kepada Allah
Sekarang mari kita lihat berbagai segi kehidupan Hadhrat Rasulullah s.a.w..
Keteladanan beliau s.a.w. yang Allah Ta’ala
telah perintahkan kita untuk mengikutinya dan yang mengenainya telah
dijelaskan oleh Hadhrat Masih Ma`ud as, bagaimana dan sejauh mana manusia dapat
melaksanakannya. Dan yang dengan berjalan diatasnya maka dapat memperoleh
kecintaan Allah Ta`ala yang karenanya hamba masuk kedalam hamba-hamba yang
dicintai-Nya.
Pertama dari semuanya, kita perhatikan contoh apa yang telah beliau s.a.w.
tegakkan dalam hal kecintaan kepada Allah Ta’ala,
mensyukuri-Nya dan dalam beribadah kepada-Nya. Beliau adalah nabi agung yang
seluruh harinya penuh dengan kesibukan urusan pekerjaan-pekerjaan dan
memperbaiki keimanan orang-orang mu`min dan memberikan tarbiyat kepada mereka dan
sibuk memperlihatkan jalan bagi kemajuan kerohanian mereka.
Di hari-hari biasa pun beliau s.a.w. sangat sibuk. Namun di hari-hari
darurat menghadapi bahaya ancaman perang beliau s.a.w. lebih sibuk lagi. Namun
demikian hal itu tidak pernah menjadi hambatan dalam ibadah beliau s.a.w.
kepada Allah Ta’ala di waktu siang
hari ataupun malam hari. Ibadah beliau pada malam hari begitu tekun sehingga
kaki beliau bengkak-bengkak disebabkan lama berdiri. [10]
Hal demikian karena Allah Ta’ala berfirman,
“Bangunlah beribadahlah di malam hari!” Lebih dari setengah malam hari dan
setengah malam hari beliau s.a.w. gunakan untuk beribadah. Allah Ta’ala berfirman إن
ناشئة الليل هي أشدّ وطأً وأقوم قيلاً “Sesungguhnya bangun di waktu malam untuk Shalat
adalah lebih kuat untuk menguasai diri dan lebih ampuh dalam berbicara.” (Al
Muzammil, 73:7).
Pada suatu ketika Hadhrat Aisyah rha bertanya, “Wahai Rasul Allah! Tuan
sejak awal sudah dekat dengan Allah. Mengapa tuan memasukkan diri tuan dalam
kesusahan yang sangat?” Bersabda beliau s.a.w., يا عائشة، أفلا أكون عبدًا شكورًا؟ “Wahai Aisyah! afalaa
akuuna ‘abdan syakuura?”[11]
“Yakni setelah aku menjadi dekat dengan Allah Ta’ala dan Allah Ta’ala telah
demikian banyak memberikan karunia-Nya padaku, apakah tidak menjadi kewajiban bagi
saya untuk menjadi hamba yang senantiasa bersyukur?” Bersyukur adalah kebalikan
dari ihsan, dan beliau s.a.w. senantiasa mengingat karunia dan ihsan dari Allah
Ta’ala dan terus menurus bersyukur.
Ini adalah kebaikan Allah Ta’ala pada
kita bahwa tidak hanya Dia menjadikan kita orang Muslim, bahkan, Dia juga telah
memberi taufik kepada kita untuk menyampaikan pesan salam Hadhrat Rasulullah s.a.w.
kepada pencinta hakiki beliau s.a.w.. Ihsan
(kebaikan) ini demikian besar sekali sehingga kita tidak dapat menyatakan
syukur yang memadai kepada Allah Ta’ala.
Seorang Ahmadi juga tidak akan mampu memenuhi syukur kepada-Nya. Apa pun usaha
yang dilakukan untuk memenuhi syukur tersebut, sampai kapan pun kita tidak akan
mampu memenuhi syukur tersebut.
Oleh karena itu, setiap Ahmadi harus berusaha keras untuk menunaikan hak-hak
kewajiban ibadah kepada Allah Ta’ala
sesuai dengan keadaan dan kemampuannya masing-masing. Kebiasaan menunaikan Nawafil di bulan Ramadhan hendaknya
tidak bersifat sementara dan tidak pula hanya untuk meraih materi duniawi
melainkan untuk menyatakan syukur sepenuhnya kepada Allah Ta’ala, kemudian pengaruh dari ibadah-ibadah itu nampak dari
kebenaran perkataan dan perbuatan kita. Apabila kita bermaksud berusaha memperbaiki
dunia maka dengan menjadikan diri kita umat yang terbaik maka perkataan kita akan
ada pengaruhnya apabila keadaan kita seperti telah disebutkan tadi. Seperti
telah saya katakan, ini adalah keteladanan beliau s.a.w. yang telah diterangkan
tadi mengenai shalat-shalat nafal bagaimana beliau s.a.w. biasa beribadah di waktu
malam. Hadhrat Rasulullah s.a.w. sangat memperhatikan kedisiplinan dalam menunaikan
shalat-shalat fardhu. Bahkan, di waktu sedang sakit keras pun, walaupun [dalam
keadaan demikian] diijinkan untuk shalat sambil duduk atau berbaring dan juga
shalat di rumah, beliau s.a.w. tetap pergi ke mesjid untuk shalat berjamaah dengan
berjalan sambil ditopang oleh dua orang sahabat beliau s.a.w..[12]
Dalam Pelaksanaan
Ibadah Jangan Memaksakan Diri Namun Juga Jangan Mudah Mencari Mudahnya Saja
Akan tetapi walaupun hal-hal demikan tadi yaitu demikian kerasnya beliau
s.a.w. dalam beribadah, demikian ketatnya beliau s.a.w. dan beliau s.a.w.
menganggap demikian pentingnya beribadah, namun, dalam masalah beribadah beliau
s.a.w. tidak menyukai memaksakan diri dan dibuat-buat. Pada suatu hari Hadhrat
Rasulullah s.a.w. melihat seutas tali terikat diantara dua buah tiang di dalam
rumah. Ketika ditanya mengenai tujuannya maka diketahuilah bahwa istri beliau,
Hadhrat Zainab ra mengikatkan tali tersebut untuk menopang tubuhnya apabila ia merasa
penat ketika menunaikan shalat. Beliau s.a.w. tidak menyukainya dan beliau s.a.w.
bersabda, “Seseorang harus melakukan shalat selama ia bersemangat ceria,
apabila ia merasa lelah atau penat maka ia boleh ibadah sambil duduk.” [13]
Allah Ta’ala telah memberikan
kekuatan sedemikian kepada beliau s.a.w. sehingga kaki beliau s.a.w. menjadi
bengkak karena begitu lama berdiri [untuk shalat tahajjud], tapi untuk
orang-orang lain, beliau s.a.w. memberikan kemudahan-kemudahan. Tetapi
kemudahan itu bukan berarti menjadi kebiasaan bagi banyak orang supaya shalat
hanya sambil duduk saja. Sebagian orang memiliki kebiasaan demikian, yaitu mereka
bangun untuk shalat Shubuh, tanpa melakukan wudhu melainkan melakukan tayammum,
shalat pun dilakukan dengan cara duduk, ini adalah salah. Disamping tidak
boleh, melakukan hal itu juga tidak ada faedahnya karena hal itu bukanlah
ibadah.
Adalah penting setiap orang melakukan usaha hingga batas puncak kemampuan
dan kekuatannya. Setiap hamba dapat memperkirakan sesuai dengan kekuatannya,
setiap orang mengukurnya dan bila ini terjadi barulah setiap orang dapat
mengatakan, “Saya sedang berusaha berjalan pada keteladanan terbaik Hadhrat
Rasulullah S.a.w.. “ Kita telah melihat derajat ibadah-ibadah dan syukur yang
contoh-contohnya telah beliau s.a.w. letakkan di hadapan kita, dan telah pula
saya jelaskan.
Namun, walaupun demikian, ketika suatu waktu beliau s.a.w. bersabda:
“Tidak akan ada seorangpun yang dimasukkan kedalam surga karena amal salehnya.”
Maka sahabat Abu Hurairah pun bertanya, “Wahai Rasulullah ! Apakah tuan juga
tidak masuk surga dengan amal perbuatan tuan? Tuan senantiasa beribadah
sepanjang malam. Dalam keadaan fana seperti ini hingga kaki tuan
bengkak-bengkak.” Beliau s.a.w. bersabda: “Ya, sekalipun saya sendiri tidak
akan masuk Surga karena amal-amal saya, hanya karunia dan kasih sayang Tuhanlah
yang memungkinkan saya masuk ke Surga.”[14]
Betapa luhurnya keadaan khauf (takut
terhadap Tuhan) dan khasy-yat (merendahkan
diri) beliau s.a.w.. Demikianlah kedudukan kualitas khauf beliau s.a.w. bagi orang-orang yang kesana kemari menyatakan
kebaikan-kebaikan mereka. Semoga Allah Ta’ala
selalu menempatkan kita di bawah naungan rahmat-Nya dan pengampunan-Nya, dan
semoga Dia memberi taufik kepada kita untuk menunaikan ibadah yang benar sambil
merendahkan diri kepada-Nya. Beliau s.a.w. bersabda, “Laksanakanlah kebaikan-kebaikan
dalam perbuatan-perbuatan saudara-saudara dan carilah jalan untuk mendekatkan
diri kepada Allah Ta’ala.” Beliau s.a.w.
bersabda, “Janganlah ada orang yang menginginkan kematian, supaya jika ia orang
yang saleh, ia harus meningkatkan dirinya dalam kesalehan dan akan menjadi
pewaris dari karunia Allah Ta’ala dan jika ia bukan orang saleh maka akan
mendapatkan taufik untuk bertaubat.” [15]
Taufik bertaubat pun didapat
dengan karunia Allah Ta’ala. Hendaknya berdoa juga untuk itu sebab kalau
tidak kebanyakan orang di dunia ini berbuat hal-hal yang menjurus kedalam
keburukan dan terus menerus bertambah-tambah didalamnya. Inilah yang beliau s.a.w.
sabdakan, dan beliau s.a.w. bersabda untuk orang-orang beriman, beliau s.a.w.
bersabda mengenai keburukan-keburukan umum yang biasa, “Jauhilah
kelemahan-kelemahan masing-masing, jauhilah keburukan-keburukan masing-masing!”
Maka untuk itu harus bertambah upayanya dan kemudian mendapatkan taufik
menjauhkan diri dari kelemahan-kelemahannya.
Oleh karena itu di bulan Ramadhan ini manusia berusaha menjauhkan
kelemahan-kelemahan pribadinya dan menjauhkan keburukan-keburukan maka untuknya
juga hendaknya terus maju dalam usahanya kemudian kebiasaan seperti itu harus
dilanjutkan. Sabda beliau s.a.w. ini juga ditujukan kepada orang-orang yang
memiliki perhatian pada taubat, dan kemudian setelah bertaubat mereka berusaha untuk terus maju dalam berbuat
kebaikan-kebaikan, dan mereka berdoa, “Kematian itu telah ditetapkan. Akan
tetapi Ya Allah, aku memohon agar kematianku datang ketika Engkau telah ridha kepadaku.”
Menggunakan Kemampuan
dan Kekuatan di Saat Yang Tepat
Beliau s.a.w. juga bersabda bahwa orang yang tidak memanfaatkan
kemampuan dan karunia yang Allah Ta’ala
telah berikan kepadanya, adalah termasuk ketidakpatutan (ketidaksopanan).
Penggunaan yang benar atas semua kemampuan tersebut adalah ibadah.
Bagian-bagian tubuh yang Allah Ta’ala
telah berikan, telinga, mata , lidah , tangan, kaki dan sebagainya, dan menggunakannya
untuk melakukan kebaikan adalah ibadah.
Menggunakan telinga untuk mendengarkan perkara yang baik membuat
seseorang menjadi pewaris ridha Ilahi, sebaliknya mendengarkan orang melakukan
ghibat dan mendengarkan cerita fitnah tentang orang lain adalah dosa. Akan
tetapi bila seseorang selalu menutup kedua belah telinganya selama-lamanya
sambil berkata, “Saya tidak mendengar perkara yang buruk.” maka hal demikian
juga bukan penggunaan pendengaran yang tepat dan adalah termasuk jenis perbuatan
yang tidak pantas. Demikian juga dengan penggunaan lidah, tangan, dan indra-indra
lainnya juga.
Sekarang kita sedang melalui bulan Ramadhan. Adalah perintah Allah Ta’ala yaitu makan sahurlah dan bersegeralah
berbuka puasa. Setelah beliau s.a.w. memperlihatkan dalam bentuk perbuatan
dalam hal itu pada kita, kecuali jika terdapat hambatan tertentu, maka jika
tidak menjalankan perintah Allah Ta’ala tersebut
maka ini adalah ketidakpatutan dan dosa. Sebagian orang tidak menyegerakan
berbuka puasa dikarenakan terpaksa. Sebagian orang tidak memiliki sesuatu untuk
dimakan saat sahur. Jika seseorang tidak melakukan puasa sekalipun keadaan
fisiknya sehat maka itu adalah ketidakpatutan dan dosa besar. Nikmat-nikmat Allah
Ta’ala yang telah diberikan dalam
bentuk apapun juga, bila dimanfaatkan sesuai dengan perintah Allah Ta’ala dan dimanfaatkan dengan cara yang
baik akan menjadi kebaikan, dan adalah berdosa bila tidak digunakan dengan
benar dan digunakan tidak pada waktunya. Demikianlah yang diperlihatkan oleh
beliau s.a.w. kepada kita dengan amal perbuatan beliau s.a.w.. Hadhrat
Rasulullah s.a.w. memiliki kesabaran dan toleransi yang sangat tinggi. Sebelum
perintah Tuhan berisi larangan minum minuman keras turun kepada beliau s.a.w.,
seorang Sahabat [Hamzah] tengah mabuk banyak berkata kepada beliau s.a.w.
dengan kata-kata yang tak keruan. Beliau terus mendengar sambil berdiam diri tanpa
berkata-kata apapun kepadanya. [16]
Keteladanan Nabi
s.a.w. Saat Menjadi Penguasa
Pada masa Allah Ta’ala mengaruniai
beliau s.a.w. dengan kekuasaan (pemerintahan). Beliau s.a.w. telah menetap di
Madinah, kekuasaan pun telah tegak berdiri maka pada waktu itu juga kita mendapatkan
keteladanan dalam hal kesabaran dan toleransi yang sangat tinggi. Kita melihat
di dunia ini, ada orang yang memiliki 4 sen saja atau ada orang yang memiliki
sedikit saja kedudukan (jabatan) maka ia sudah merasa demikian bangga (sombong).
Kalau terjadi suatu pembicaraan yang tidak sesuai dengan tabiatnya maka ia
menjadi marah. Akan tetapi bagaimanakah karakter beliau? Pada suatu ketika
seorang Yahudi datang dan mulai berbahas sesuatu dengan beliau s.a.w., dan
selama bercakap-cakap ia berulang kali memanggil dengan panggilan "محمد" “Wahai Muhammad”.
Orang Yahudi itu memanggil beliau hanya dengan “Wahai Muhammad!”.
[Padahal], zaman itu adalah zaman dimana beliau s.a.w. tidak hanya berkuasa di
Madinah saja bahkan pemerintahan dan kekuasaan beliau s.a.w. meliputi
daerah-daerah di sekitarnya tersebar hingga ke tempat-tempat yang jauh.
Para Sahabat beliau s.a.w. tidak senang mendengar cara panggilan tidak
sopan itu karena para Sahabat memanggil beliau s.a.w. dengan perkataan"يا رسول الله" “Wahai Rasul
Allah!” Sedangkan orang-orang bukan Muslim memanggil beliau s.a.w. dengan kuniyat (panggilan gelar kehormatan) "أبو
القاسم"
Abul Qasim. Maka dengan mengulang-ulang memanggil “Wahai Muhammad” seperti ini
sahabat menjadi marah, “Kalau tidak dapat mengatakan ‘Wahai Rasul Allah!’
setidaknya engkau panggilah beliau s.a.w. dengan panggilan kuniyat beliau s.a.w., ‘Abul Qasim’!”
Orang Yahudi berkata, “Aku akan memanggil beliau dengan nama itu yang
telah diberikan oleh ibu bapak beliau kepada beliau.” Mendengar hal itu Hadhrat
Rasulullah s.a.w. pun tersenyum sambil bersabda, “Sungguh benar ia (orang
Yahudi itu). Ayah dan ibuku telah menamaiku Muhammad. Biarkanlah mereka
bercakap-cakap dengan menyebut nama itu dan janganlah marah.” [17]
Suatu kali terjadi demikian bahwa orang-orang yang memegang tangan
beliau s.a.w.. Sekali waktu beliau dihentikan ketika sedang mengerjakan
pekerjan penting. Sekali waktu mereka menyia-nyiakan waktu beliau akan tetapi
beliau memperhatikan ucapan mereka dengan sabar dan penuh perhatian dan
menyempurnakan keinginan mereka. [18]
Penegakan Hukum dan
Keadilan Tanpa Pandang Bulu
Perihal standar keadilan
adalah demikian bahwa bilamana seseorang telah berbuat kesalahan tidak
dipandang apakah dia seorang kaya ataupun miskin, baik dia berasal dari
keluarga terpandang ataukah keluarga biasa [pasti akan beliau s.a.w. tegakkan hukum].
Pada suatu ketika seorang perempuan kaya dari keturunan bangsawan terhormat
telah berusaha mencuri harta milik orang lain, ia tertangkap dan kemudian dijatuhi
hukuman. Sebagian orang dari kabilah-kabilah, khususnya yang masih kerabat
dekat dengan perempuan itu telah menjadi gelisah mengapa seorang perempuan
terhormat telah dijatuhi hukuman? Kemudian pemimpin Kabilah itu mengirim Usamah
ra untuk menghadap Hadhrat Rasulullah s.a.w. sebagai perantara untuk mengajukan
permohonan agar perempuan itu tidak dijatuhi hukuman dan dimaafkan.
Mendengar hal ini, beliau s.a.w. memperlihatkan kemarahan beliau s.a.w.
terhadap perilaku mereka itu. Padahal, beliau s.a.w. sungguh seorang yang
sangat luhur, seorang memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap sesama
makhluk lagi pemaaf, seorang yang mempunyai akhlak menyenangkan saat berbicara,
dan beliau tidak pernah marah, namun demikian, atas kejadian itu beliau s.a.w. marah,
yakni “Telah datang kepadaku, pengajuan permohonan untuk melawan hukum Allah Ta’ala.” Kemudian beliau s.a.w. bersabda, “Suatu kaum di
zaman dahulu telah hancur sebab telah terjadi kezaliman antara para pembesar
dan orang-orang biasa. Apabila seorang dari kalangan terhormat mencuri
dibebaskan dan tidak dikenai hukuman, sedangkan apabila seorang dari kalangan
orang rendah dan miskin mencuri dikenai hukuman. Islam tidak mengizinkan
perlakuan demikian. Demi Allah! Jika seandainya anak perempuanku
Fatimah mencuri pasti saya jatuhkan hukuman padanya.” [19]
Pada zaman sekarang ini, kita saksikan bagaimana keadilan sudah hilang
di kalangan orang-orang Muslim, dan itulah salah satu penyebab kemunduran
mereka. Oleh karena itu, kita orang-orang Ahmadi harus sangat berhati-hati
dalam hal ini. Para pengemban amanat tugas Jemaat diantara kita juga harus
memenuhi tuntutan keadilan dan berusaha untuk mempertahankan dan menegakkan standar
[keadilan] itu dengan sebaik-baiknya, sebab, hal itu adalah sangat berbahaya (urgent)
dan menjadi penyebab kemunduran [bila tidak ditegakkan].
Perlakuan adil terhadap musuh-musuh adalah ajaran Al Qur’anul Karim.
Maka, bagaimanakah contoh yang beliau s.a.w. perlihatkan? Mengenainya, saya
berikan satu contoh. Pada suatu ketika beliau mengirim sekelompok Sahabat ke arah
Mekkah untuk mencari-cari informasi. Ketika sampai di batas al-Haram (kota
Mekkah) para Sahabat itu menjumpai beberapa orang yang mereka kenal atau mereka
mencurigai bahwa orang-orang itu akan melaporkan kedatangan mereka kepada
orang-orang Mekkah. Dikarenakan hal itu, para Sahabat itu menyerang mereka dan membunuh
salah satu diantara mereka itu.
Tatkala para sahabat itu pulang ke Madinah, mereka diikuti oleh sebuah
delegasi dari Mekkah yang datang kepada Hadhrat Rasulullah s.a.w. sambil membawa
pengaduan bagaimana mereka telah melakukan pembunuhan di batas Haram. Atas hal
itu, beliau s.a.w. menjawab, “Apakah kalian lupa bagaimana kalian telah
menganiaya kaum Muslimin dan berbuat dosa di dalam batas al-Haram?” Tetapi,
beliau bersabda, “Baiklah, bisa jadi orang-orang itu tidak melawan para sahabat
dikarenakan hal ini bahwa mereka berada di tanah Haram sehingga tidak berperang
dan terlindungi jiwanya. Orang-orang kami telah berbuat hal yang melampaui
batas.”
Dan, selanjutnya beliau s.a.w. bersabda, “Baiklah, darah salah seorang
dari kalian telah tertumpah. Sesuai adat kebiasaan bangsa Arab, akan ditunaikan
pembayaran diyat (uang darah).” (Rujukan dari As-Sirah
al-Halabiyyah, jilid 3 halaman 217 s.d. 221, bab sariyah beliau s.a.w., sariyah
Abdullah bin Jahsy ra, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002)
Pendek kata, itulah standar keadilan yang ditegakkan di tiap tempat oleh
Munshif A’zham (Penegak Keadilan
Agung, Hadhrat Rasulullah s.a.w.).
Menjaga Sentimen
Keagamaan Orang Lain
Perhatikanlah juga bagaimana luhurnya Nabi Muhammad s.a.w. dalam menghormati
perasaan orang lain. Seorang Yahudi datang mengadu kepada Rasulullah s.a.w. dengan
mengatakan, “Hadhrat Abu Bakar ra telah menyakiti perasaanku dengan menyebut "والله لقد فضَّل
الله محمدا رسول الله على موسى" ‘Wallahi laqad fadhdhala Muhammadan ‘alaa Muusaa’ - “Dengan bersumpah demi Allah aku mengatakan, Allah lebih memuliakan Muhammad
diatas Musa.” Mendengar hal itu, orang Yahudi itu berkata, “Saya merasa
tersakiti.”
Pada hakekatnya, Hadhrat Muhammad s.a.w. bahkan paling mulia diatas
semua Nabi. Al-Qur’an pun memberi kesaksian terhadap kenyataan itu. Tetapi, tatkala
beliau s.a.w. bertanya kepada Abu Bakar ra tentang itu, Hadhrat Abu Bakr
mengatakan "أقسم
بموسى الذي فضَّله الله على العالم كله." ‘Aqsama bi Muusaa lladzii fadhdhallahu ‘alal ‘aalam kullihi’ - “Orang Yahudi sendiri yang berkata lebih dulu dengan bersumpah demi Musa
as yang Allah telah menjadikannya paling mulia di seluruh dunia.” Namun beliau s.a.w.
bersabda, “Walaupun demikian, janganlah melakukan itu. Hormatilah perasaan
orang lain.” [Jangan menyebutkan kedudukan beliau s.a.w. seperti itu di hadapan
orang-orang Yahudi.] [20] Demikianlah,
semangat beliau s.a.w. dalam menghormati orang lain.
Penghargaan terhadap
Pengkhidmat Kemanusiaan
Bagaimana penghormatan Hadhrat Rasulullah s.a.w. kepada orang-orang yang
mengkhidmati kemanusiaan, riwayat-riwayat menyebutkan bahwa suatu ketika orang-orang
dari Kabilah Ath-Tha-i berperang dengan kaum Muslimin [lalu kalah], terdapat
beberapa orang menjadi tawanan dari kabilah itu. Salah seorang dari tawanan itu
adalah seorang perempuan, putri seorang dermawan Arab terkenal yang bernama
Hatim. Ketika Hadhrat Rasulullah s.a.w. mengetahui hal ini beliau s.a.w.
memperlakukannya dengan baik, dan atas pengajuan perempuan itu maka semua
anggota Kabilahnya itu dimaafkan kemudian dibebaskan oleh beliau s.a.w..
Ringkasnya, demikianlah perlakuan penuh hormat dan baik dari seorang muhsin insaniyyat s.a.w. kepada orang-orang yang mengkhidmati
kemanusiaan.
Sikap Teladan
Rasulullah s.a.w. terhadap Kaum Perempuan
Bagaimana Hadhrat Rasulullah s.a.w. menegakkan penghormatan dan penghargaan
terhadap kedudukan kaum wanita? Menurut adat kebiasaan orang-orang Arab di masa
lampau suami seringkali memukul istri mereka. Hadhrat Rasulullah s.a.w. mengetahuinya
kemudian beliau bersabda kepada para suami, “Kaum perempuan adalah hamba sahaya
(budak) Allah Ta’ala bukan hamba
sahaya kalian.” [21]
Ketika seorang Sahabat ra bertanya kepada beliau s.a.w., “Apakah hak-hak
istri atas kami (para suami)?” Beliau s.a.w. bersabda: “Berilah dia makan yang
telah Tuhan berikan kepada kamu untuk makan, berilah dia pakaian dengan yang
telah Tuhan berikan kepadamu untuk berpakaian. Jangan memukul mukanya, jangan
mencaci-makinya dan mengusirnya dari rumah kamu.” [22]
Pada waktu sekarang ini peristiwa demikian sering terjadi,
keluhan-keluhan pun timbul, orang-orang seperti itu harus berpikir panjang
tentang itu. Di satu pihak mereka melakukan ibadah dan doa kepada Allah Ta’ala dan di pihak lain mereka melakukan
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan perintah-perintah-Nya. Hadhrat
Rasulullah s.a.w. bersabda: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ
لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي ‘Khairukum khairukum li ahlihi wa ana khairukum li ahlii.’ - “Orang terbaik diantara kamu adalah dia yang terbaik dalam hal berlaku
baik terhadap ahli (penghuni) rumahnya dan aku adalah yang terbaik dari antara
kalian dalam hal berlaku baik terhadap keluarganya.” [23]
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dikarenakan kesibukan tugas-tugas pemerintahan
dan tarbiyat (pendidikan), waktu beliau adalah sangat berharga. Beliau sibuk
dalam ibadah-ibadah, namun, dalam keadaan demikian, beliau s.a.w. biasa
membantu pekerjaan di rumah istri-istri beliau dengan baik sekali. Hadhrat
Aisyah ra meriwayatkan, pada waktu manapun beliau s.a.w. ada di rumah, beliau s.a.w.
selalu sibuk membantu menyelesaikan pekerjaan di rumah. [24]
Bila tidak ada tugas-tugas lainnya, beliau s.a.w. takkan kosong dari
pekerjaan-pekerjaan di rumah. Beliau s.a.w. menambal sulam sendiri pakaian
beliau yang sudah robek. [25] Beliau s.a.w.
sendiri yang memerah susu kambing.[26] Jika terlambat
tiba di rumah beliau beliau s.a.w. mempersiapkan makanan untuk beliau s.a.w.
sendiri dan tidak membangunkan orang-orang di rumah. [27]
Pendek kata, hal itu semua menjadi contoh terbaik bagi orang-orang yang
menganggap, “Apabila kami mengerjakan pekerjaan rumahan maka itu membuat kami akan
berdosa. Apabila terlambat pulang ke rumah, adalah kewajiban kaum perempuan yang
harus selalu mempersiapkan makanan untuk kami. Apabila tidak mengerjakan, maka
kewibawaan kami di mata keluarga telah hilang.” Orang-orang seperti itu tidak akan merasa puas
jika tidak mencaci maki istri mereka.
Sebagian orang keadaannya demikian, yang mengenai mereka datang
keluhan-keluhan, mereka melaksanakan tugas-tugas kejemaatan di luar rumah.
Tingkah laku mereka di luar rumah demikian bagus, namun di dalam rumah mereka
berlaku menyakiti para istri, yang bila mendengarnya, orang pun akan merasa
heran, “Orang itu di luar begitu dan di
rumah begini?” Ini dua amal perbuatan [yang bertentangan].
Beberapa kerabat perempuan, anak perempuan dan kaum ibu, telah demikian
rusak dan merusak kaum laki-laki dari keluarga mereka. Jika melihat kaum
laki-laki keluarga mereka membuat dan menyuguhkan teh kepada tetamu, mereka
berkata, “Laki-laki kami menjadi hamba-sahaya istri mereka? Bagaimana dengan
istrinya! Anak laki-laki yang malang atau saudara lelaki yang malang dari
keluarga kami harus mengerjakan pekerjaan rumahan seperti itu?” Demikianlah mereka
merusak pikiran para suami dan anak laki-laki mereka. Lalu, kaum laki-laki yang
sudah terpengaruh semacam itu mulai bersikap kasar kepada istri-istri mereka.
Padahal, itu bukanlah pekerjaan orang yang malang. Ini semua adalah uswah hasanah Rasulullah s.a.w. yang
dengan mengamalkannya menjadikan seseorang memperoleh pahala, membuat baik
kehidupan mereka selanjutnya, menjadikan mereka hamba-hamba Allah yang hakiki. Orang
yang malang itu ialah yang berlaku kejam terhadap istri-istri mereka, dan karenanya
akan dicengkeram hukuman oleh Allah Ta’ala.
Apabila ditanyakan kepada mereka, “Apakah ini akhlak tinggi yang kamu
perlihatkan sebagai pernyataan keimanan kamu?
Apa yang telah kamu perlihatkan? Di satu sisi kamu mengatakan begini, di
sisi yang lain kamu memperlihatkan begitu (berlaku aniaya)?” Maka untuk laki-laki
seperti ini harus memikirkan tentang dirinya sendiri.
Kebaikan Beliau
s.a.w. terhadap Anak-Anak
Bagaimanakah contoh kasih-sayang beliau s.a.w. kepada anak-anak? Mengenainya
disebutkan dalam riwayat, Hadhrat Rasulullah s.a.w. biasa memanjatkan doa-doa
bagi anak-anak beliau sendiri dan bagi anak-anak lain yang tinggal bersama
beliau s.a.w., “Ya Allah! Aku mencintai mereka ini, Engkau juga cintailah
mereka!” [28]
Beliau tidak pernah menghukum anak-anak, selalu mendidik mereka melalui sarana
kasih sayang dan doa-doa. Hadhrat Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa apabila
beliau s.a.w. mendapat buah pertama di musim buah, beliau s.a.w. berdoa agar
buah itu diberkati oleh Allah Ta’ala
kemudian buah pertama diberikan kepada anak yang paling kecil di dalam suatu
Majlis. [29]
Terdapat juga banyak riwayat yang menyebutkan beliau s.a.w. berkenan bermain-main
bersama anak-anak. Kebanyakan orang tua mencintai anak-anak mereka, namun ada
juga orang tua yang menghukum anak-anak mereka sendiri tanpa sebab yang wajar.
Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang anak muda yang memgatakan kepada
saya, “Saya setiap saat senantiasa merasa takut dan menderita depresi. (ia
menderita penyakit kejiwaan). Penyebabnya, bapak saya selalu memukul saya setiap
waktu.” Ketika seseorang menanyakan bapak anak muda itu mengapa selalu memukul
anaknya tanpa sebab? Dia menjawab, “Penting sekali demi menanamkan pengaruh
orang tua pada pikiran anak-anak.” Seperti itulah keadaan beberapa orang tua.
Orangtua demikian adalah zalim. Bahkan, di sini (Inggris) kita menyaksikan baru-baru
ini di media tentang orang tua yang membunuh anak mereka demi kesenangan hati
mereka. Banyak juga orang tua yang mencintai anak-anak kandung mereka namun
tidak bisa menahan sabar terhadap anak-anak orang lain, tidak menaruh
kasih-sayang kepada mereka. Contoh luhur Hadhrat Rasulullah s.a.w. adalah
mencintai dan bersikap kasih-sayang kepada semua anak dari semua kalangan.
Keteladanan Kepada Tetangga
dan Berbagai Aspek Lainnya
Di samping
di dalam Al-Qur’an juga terdapat perintah agar berbuat baik kepada lingkungan
sekitar, beliau s.a.w. juga menegakkan contoh tertinggi dalam hal ini, dan beliau
s.a.w. berulang kali menasihatkan para pengikut beliau agar berlaku baik
terhadap para tetangga. Pada suatu ketika beliau s.a.w. bersabda, “Demi Allah!
dia bukanlah orang beriman, sungguh dia bukanlah orang beriman, sungguh ia
bukanlah orang beriman.” Ketika para Sahabat bertanya kepada beliau, “Siapakah
yang dimaksud dengan bukan beriman wahai Rasul Allah?” Beliau s.a.w. menjawab:
‘Orang yang karena perbuatan dan perlakuan buruknya tetangganya tidak merasa
aman nyaman.” [30]
Demikianlah
beberapa aspek yang saya telah menjelaskannya hari ini. Mengenai perlakuan baik
terhadap keluarga, atau masalah kerjasama antar sesama manusia, perhubungan
persaudaraan dengan yang lain, atau masalah menutupi kesalahan orang lain, atau
menghindarkan diri dari usaha memata-matai orang, atau masalah buruk sangka
terhadap orang lain, contoh akhlaq
karimah apapun yang sangat luhur mengenai Hadhrat Rasulullah s.a.w. kita dapat
menjumpainya di setiap tempat. Jadi itulah ‘abd kaamil (hamba sempurna)
yang dengan memperlihatkan contoh
sempurna dalam setiap urusan lalu telah menciptakan inqilaab (revolusi, perubahan besar dan cepat) di kalangan bangsa
yang jahil di zaman itu dan menjadikan
mereka insan-insan yang ber-Tuhan. Pada zaman ini juga jika
kita ingin mengambil faedah dari berkat-berkat yang turun kepada umat beliau
dan ingin menyempurnakan hak menjadi hamba maka kita harus mengikuti contoh
terbaik beliau s.a.w. itu, agar kita menjadi pewaris karunia Allah Ta’ala dan dapat memperindah duniawi dan ukhrawi kita. Oleh karena itu, pada hari ini dan di akhir dua tiga hari
bulan Ramadhan ini, berdoalah di
dalamnya sebab Ramadhan adalah bulan terkabulnya doa-doa dan berdoalah terus
menerus sepanjang hidup, semoga Allah Ta’ala
menjadikan kita Mu’min sejati dan semoga kita dapat berjalan diatas uswah hasanah (keteladanan terbaik) Hadhrat
Rasulullah s.a.w..
Sabda-Sabda Hadhrat
Masih Mau’ud a.s.
Terakhirnya,
saya ingin menyampaikan sebagian
kutipan-kutipan dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau a.s. bersabda,
“Tuhan Yang Maha Tinggi memerintahkan kepada kaum Muslimin agar berjalan diatas
suri teladan Nabi Muhammad s.a.w. dan mengikuti setiap perkataan dan perbuatan
beliau s.a.w.. Dia berfirman, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ kemudian berfirman قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ Kalau Hadhrat s.a.w.
dalam hal perkataan dan perbuatan beliau s.a.w. tidak bebas dari aib
(keburukan) mengapa kita diperintahkan wajib untuk mengikuti contoh beliau s.a.w.?”
[31]
Kemudian beliau
a.s. bersabda, “Kesempurnaan kecintaan kepada Allah Ta’ala tidak akan dapat timbul di dalam diri manusia selama ia
tidak menjadikan akhlak dan amal Nabi Karim s.a.w. sebagai rahbar (pimpinan) dan hadi (petunjuk)
baginya. Maka, Allah Ta’ala sendiri dalam hal ini telah
berfirman mengenai keistimewaan ini قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ Yakni, untuk
menjadi kekasih Allah harus mengikuti
Hadhrat Rasulullah s.a.w.. Mengikuti beliau s.a.w. dengan benar ialah dengan
menciptakan pewarnaan akhlak di dalam diri sesuai dengan warna akhlak fadhilah
beliau s.a.w..”[32]
Hadhrat
Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Najaat (keselamatan)
tidak datang karena usaha amal saleh seseorang melainkan datang sebagai karunia
dari Allah Ta’ala, dan Dia tidak
pernah mengingkari (membatalkan) undang-undang yang telah ditetapkan-Nya.
Undang-undang itu ialah قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ “