Dr. Achmad Zainuri: Konflik Gereja Yasmin Memerlukan Mediator
Konflik sara yang menonjol saat ini di Indonesia adalah konflik atas nama agama, dengan korban salah satunya Gereja Yasmin, demikian hasil browser copas dari kami:
Written on:January 24, 2012
Bandung, UPI
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang plural dan multikultur merupakan suatu hal yang unik. Keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan unique experience dengan diwarnai berbagai macam persoalan konflik seperti sentiment identitas keagamaan sehingga meluruhkan ke-Indonesiaan yang menginsyaratkan adanya toleransi dan penghormatan terhadap pluralism
“ Meskipun keberagaman merupakan salah satu elemen utama dari pondasi bangsa Indonesia, namun mengarah terhadap ekslusivisme dalam beragama di mana telah terjadi dalam perkembangan bangsa Indonesia dari masa ke masa seperti kasus konflik antarumat Islam dengan jemaat Gereja Yasmin di Bogor,” kata Dr. Achmad Zainuri saat mempertahan disertasi untuk meraih gelar doktor dalam sidang terbuka di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (SPs UPI) di Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Selasa (24/1/2012).
Dr. Achmad Zainuri mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya di hadapan para penguji, Prof. Dr. Endang Sumantri, M.Ed.; Prof. Dr. Sofyan Sauri, M.Pd.; Dr. H. Sunatra, S.H.; M.S.; Prof. Dr. H. Supriya, M.Ed.; dan Prof. Dr. Udin S. Winataputra, M.A.
Menurut Dr. Achmad Zainuri, Pancasila sebagai falsafah bangsa dan alat pemersatu bangsa Indonesia yang beragama tertuang pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sila ini mengandung nilai ketuhanan, salah satunya Tuhan menciptakan perbedaan sehingga manusia wajib saling menghormati dan menghargai akan perbedaan. Pasal 29 (UUD 45) tidak hanya memastikan bahwa masyarakat Indonesia adalah religius, tetapi juga mengartikan bahwa setiap penduduk negeri ini mempunyai kebebasan dalam memilih agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Menurut Achmad Zainuri, peristiwa Yasmin sebagai konflik antar umat beragama, tidak hanya disebabkan oleh faktor situasi intern keberagamaan seperti pemahaman atau penafsiran yang eksklusif atau intoleran. Konflik tersebut juga dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang saling berkelindan dan tumpang tindih.
“Konflik antar umat beragama seperti yang terlihat dalam kasus Yasmin juga dipengaruhi oleh banyak faktor di luar persoalan teologi dan ideologi keberagamaan seperti kondisi objektif dan perubahan sosial ekonomi dan politik warga yang berkonflik serta menguatnya kepentingan ekonomi dan politik tertentu yang dikembangkan sejumlah elite agama, ekonomi, dan politik,”
Menurut Dr. Ahmad, konflik juga lahir akibat dari kegijakan makro yang tidak didasarkan pada asas keadilan, kesejahteraan, dan supremasi hukum. Kenyataan tersebut memperkuat pandangan teoritik bahwa konflik antar umat beragama, seperti halnya konflik sosial lain tidak bisa dilepaskan dari structural condusivenes.
Kehadiran berbagai paham, organisasi, dan gerakan Islam yang sering dikategori keras seperti HTI, FPI, MMI, dan Salafi merupakan kenyataan historis yang menambah pluralitas Islam dan kekayaan etnografis di kota Bogor dengan seluruh konsekuensi perubahannya pada aspek lain seperti kebudayaan setempat.
“Akan tetapi, kecenderungan mereka untuk mendominasi kehidupan, atas nama apa pun, telah menorehkan peran tersendiri dalam melahirkan dan memperuncing konflik antar umat beragama Islam dengan jemaat Yasmin. Kecenderungan yang mendominasi tersebut, mereka wujudakan secara terus terang dalam manufer politik, bahkan memainkan politik itu tersendiri bersama elite politik dan birokrasi setempat,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan pendekatan terhadap konflik seperti Yasmin oleh para tokoh agama dan pejabat birokrasi masih terlihat sangat formal, melalui kelembagaan dalam bentuk dialog yang hanya dihadiri oleh sejumlah elite, tanpa melibatkan warga atau jemaat yang berkonflik.
Resolusi dalam bentuk dialog dalam kasus Yasmin sepertinya hanya mengulang resolusi yang pernah dipraktikkan dan dikembangkan oleh pemerintah pusat dan daerah selama ini yang telah dikritik karena selalu mengalami jalan buntu dan tidak melahirkan teologi kerukunan yang menjamin perdamaian permanen.
Kasus Yasmin yang dibawa dalam ranah hukum oleh pemerintah Kota Bogor, ternyata menyebabkan konflik semakin rumit. Pilihan untuk membela kaum Muslimin yang menolak pembangunan gereja dengan alasan menciptakan ketertiban dengan mencabut IMB yang ia keluarkan sebelumnya justru berlawanan dengan keputusan pengadilan (PTUN sampai Mahkamah Agung) yang secara tegas mengesahkan IMB bangunan gereja. Permasalahan pun mengerucut pada kontradiksi hukum yang jauh lebih sulit untuk mengatasinya karena melibatkan persoalan lain di luar soal konflik itu sendiri.
“Tak adanya mediator dalam proses resolusi konflik antar umat beragama Islam dengan jemaat Yasmin ini akan menjadi batu sandungan dalam penyelesaiannya. Hal ini disebabkan teguhnya keinginan kedua belah pihak baik umat Muslim maupun GKI dalam kepentingannya masing-masing,” ungkap lelaki kelahiran Lampung 21 Januari 1950 ini.
Keadaan ini semakin sulit dengan keluarnya kebijakan Wali Kota yang mencabut IMB pembangunan gereja sehingga jalan untuk melakukan mediasi semakin sulit. Untuk itu diperlukan mediator yang mampu memediasi kedua belah pihak untuk tercapainya resolusi konflik yang win-win solution, ujar dosen tetap pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Menurur dia, dalam melakukan resolusi, mediator haruslah melewati empat tahap mediasi sebagi berikut: Pertama, tahap pendahuluan dengan menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak untuk mulai berbicara secara terbuka dalam tatap muka. Kedua, pemaparan kisah, yakni memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mengungkapkan aneka keprihatinan masing-masing. Menjelaskan pertikaian itu dari sudut pandang masing-masing, dan mendengarkan pandangan pihak lain.
Ketiga, pemecahan masalah, dengan membangun kesadaran bahwa pertikaian adalah masalah bersama dengan cara menolong kedua belah pihak mengidentifikasikan aneka persoalan yang memisahkan mereka serta merumuskan, mengevaluasi, dan menegosiasikan aneka opsi kea rah penyelesaian. Keempat, merumuskan aneka butir kesepakatan yang adil dan lestari, termasuk cara menangani aneka masalah yang mungkin timbul di kemudian hari.
Dalam penelitian ini ia merekomendasikan beberapa hal yang berkaitan dengan pengembangan resolusi konflik antar umat beragama melalui pendekatan kewarganegaraan dengan cara pandang untuk melihat konflik antar umat beragama yang selama ini digunakan perlu diubah, dengan terlebih dahulu melakukan penelitian lebih mendalam dan komprehensif terhadap beberapa kasus konflik yang berbeda dan di tempat berbeda pula.
”Kasus Yasmin lebih merupakan persoalan kebijakan publik, maka pendekatan pendidikan kewarganegaraan sebagai kajian dan proses demokrasi, penegakan hak asasi manusia, dan masyarakat sipil, perlu dan penting untuk dipergunakan baik untuk meneliti, menyikapi, maupun untuk bahan pertimbangan menyusun resolusi konflik,” kata Dr. Achmad Zainuri.
Dengan semakin tergerusnya pendidikan kewarganegaraan dalam proses melihat kasus Yasmin, dirasa sangat penting untuk mengevaluasi secara kritis pelaksanaan dan praktik pendidikan kewarganegaraan di lembaga pendidikan formal. Evalusasi kritis ini sangat urgen demi perbaikan sistem dan metodologi agar paraktik pendidikan kewarganegaraan berdampak luas terhadap pembangunan kesadaran warga masyarakat sejak dini.
“Pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan perlu untuk diperluas, tidak hanya di sekolah formal, tetapi sampai ke masyarakat pada umumnya. Hal itu penting agar kontinuitas pengetahuan dan kesadaran warga masyarakat untuk hidup berdampingan secara damai di tengah pergumulan majemuk dapat terus dipupuk dan terjaga,” tegasnya.
Pilihan konsep kewarganegaraan yang mengerucutkan kekuasaan secara sentralistik dan otoriter, menempatkan kedaulatan pada elite politik dan tidak pada warga atau rakyat, perlu ditinjau ulang. Kewarganegaraan perlu dikembalikan pada konsep dan praktinya yang mengatur relasi warga negara secara seimbang dan simbolis di mana kedaulatan berada pada warga atau rakyat.
Dengan dikembalikannya kewarganegaraan pada penciptaan keseimbangan hubungan warga negara, keragaman, kebhinekaan, keberbagaian, dan kemajemukan akan dapat dijaga dan dikembangkan sebagai sumber energi utama dinamika perjalanan bangsa. Dengan mengembalikan kedaulatan pada rakyat, tiadanya sentralisasi dan kemanunggalan, dan terjaganya kebhinekaan, setiap kebijakan publik diwajibkan dapat memeratakan kesejahteraan, menciptakan keadilan, menegagkan supremasi hukum, demokrasi, dan masyarakat sipil.
“Dengan terciptanya kesejahteraan, keadilan, supremasi hukum, demokrasi, dan masyarakat sipil, konflik sosial dapat diinstitusionalisasi atau diregulasi menjadi kekuatan dinamika sebuah bangsa,” ujar Dr. Achmad Zainuri. (Deny/Andri)
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang plural dan multikultur merupakan suatu hal yang unik. Keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan unique experience dengan diwarnai berbagai macam persoalan konflik seperti sentiment identitas keagamaan sehingga meluruhkan ke-Indonesiaan yang menginsyaratkan adanya toleransi dan penghormatan terhadap pluralism
“ Meskipun keberagaman merupakan salah satu elemen utama dari pondasi bangsa Indonesia, namun mengarah terhadap ekslusivisme dalam beragama di mana telah terjadi dalam perkembangan bangsa Indonesia dari masa ke masa seperti kasus konflik antarumat Islam dengan jemaat Gereja Yasmin di Bogor,” kata Dr. Achmad Zainuri saat mempertahan disertasi untuk meraih gelar doktor dalam sidang terbuka di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (SPs UPI) di Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Selasa (24/1/2012).
Dr. Achmad Zainuri mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya di hadapan para penguji, Prof. Dr. Endang Sumantri, M.Ed.; Prof. Dr. Sofyan Sauri, M.Pd.; Dr. H. Sunatra, S.H.; M.S.; Prof. Dr. H. Supriya, M.Ed.; dan Prof. Dr. Udin S. Winataputra, M.A.
Menurut Dr. Achmad Zainuri, Pancasila sebagai falsafah bangsa dan alat pemersatu bangsa Indonesia yang beragama tertuang pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sila ini mengandung nilai ketuhanan, salah satunya Tuhan menciptakan perbedaan sehingga manusia wajib saling menghormati dan menghargai akan perbedaan. Pasal 29 (UUD 45) tidak hanya memastikan bahwa masyarakat Indonesia adalah religius, tetapi juga mengartikan bahwa setiap penduduk negeri ini mempunyai kebebasan dalam memilih agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Menurut Achmad Zainuri, peristiwa Yasmin sebagai konflik antar umat beragama, tidak hanya disebabkan oleh faktor situasi intern keberagamaan seperti pemahaman atau penafsiran yang eksklusif atau intoleran. Konflik tersebut juga dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang saling berkelindan dan tumpang tindih.
“Konflik antar umat beragama seperti yang terlihat dalam kasus Yasmin juga dipengaruhi oleh banyak faktor di luar persoalan teologi dan ideologi keberagamaan seperti kondisi objektif dan perubahan sosial ekonomi dan politik warga yang berkonflik serta menguatnya kepentingan ekonomi dan politik tertentu yang dikembangkan sejumlah elite agama, ekonomi, dan politik,”
Menurut Dr. Ahmad, konflik juga lahir akibat dari kegijakan makro yang tidak didasarkan pada asas keadilan, kesejahteraan, dan supremasi hukum. Kenyataan tersebut memperkuat pandangan teoritik bahwa konflik antar umat beragama, seperti halnya konflik sosial lain tidak bisa dilepaskan dari structural condusivenes.
Kehadiran berbagai paham, organisasi, dan gerakan Islam yang sering dikategori keras seperti HTI, FPI, MMI, dan Salafi merupakan kenyataan historis yang menambah pluralitas Islam dan kekayaan etnografis di kota Bogor dengan seluruh konsekuensi perubahannya pada aspek lain seperti kebudayaan setempat.
“Akan tetapi, kecenderungan mereka untuk mendominasi kehidupan, atas nama apa pun, telah menorehkan peran tersendiri dalam melahirkan dan memperuncing konflik antar umat beragama Islam dengan jemaat Yasmin. Kecenderungan yang mendominasi tersebut, mereka wujudakan secara terus terang dalam manufer politik, bahkan memainkan politik itu tersendiri bersama elite politik dan birokrasi setempat,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan pendekatan terhadap konflik seperti Yasmin oleh para tokoh agama dan pejabat birokrasi masih terlihat sangat formal, melalui kelembagaan dalam bentuk dialog yang hanya dihadiri oleh sejumlah elite, tanpa melibatkan warga atau jemaat yang berkonflik.
Resolusi dalam bentuk dialog dalam kasus Yasmin sepertinya hanya mengulang resolusi yang pernah dipraktikkan dan dikembangkan oleh pemerintah pusat dan daerah selama ini yang telah dikritik karena selalu mengalami jalan buntu dan tidak melahirkan teologi kerukunan yang menjamin perdamaian permanen.
Kasus Yasmin yang dibawa dalam ranah hukum oleh pemerintah Kota Bogor, ternyata menyebabkan konflik semakin rumit. Pilihan untuk membela kaum Muslimin yang menolak pembangunan gereja dengan alasan menciptakan ketertiban dengan mencabut IMB yang ia keluarkan sebelumnya justru berlawanan dengan keputusan pengadilan (PTUN sampai Mahkamah Agung) yang secara tegas mengesahkan IMB bangunan gereja. Permasalahan pun mengerucut pada kontradiksi hukum yang jauh lebih sulit untuk mengatasinya karena melibatkan persoalan lain di luar soal konflik itu sendiri.
“Tak adanya mediator dalam proses resolusi konflik antar umat beragama Islam dengan jemaat Yasmin ini akan menjadi batu sandungan dalam penyelesaiannya. Hal ini disebabkan teguhnya keinginan kedua belah pihak baik umat Muslim maupun GKI dalam kepentingannya masing-masing,” ungkap lelaki kelahiran Lampung 21 Januari 1950 ini.
Keadaan ini semakin sulit dengan keluarnya kebijakan Wali Kota yang mencabut IMB pembangunan gereja sehingga jalan untuk melakukan mediasi semakin sulit. Untuk itu diperlukan mediator yang mampu memediasi kedua belah pihak untuk tercapainya resolusi konflik yang win-win solution, ujar dosen tetap pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Menurur dia, dalam melakukan resolusi, mediator haruslah melewati empat tahap mediasi sebagi berikut: Pertama, tahap pendahuluan dengan menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak untuk mulai berbicara secara terbuka dalam tatap muka. Kedua, pemaparan kisah, yakni memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mengungkapkan aneka keprihatinan masing-masing. Menjelaskan pertikaian itu dari sudut pandang masing-masing, dan mendengarkan pandangan pihak lain.
Ketiga, pemecahan masalah, dengan membangun kesadaran bahwa pertikaian adalah masalah bersama dengan cara menolong kedua belah pihak mengidentifikasikan aneka persoalan yang memisahkan mereka serta merumuskan, mengevaluasi, dan menegosiasikan aneka opsi kea rah penyelesaian. Keempat, merumuskan aneka butir kesepakatan yang adil dan lestari, termasuk cara menangani aneka masalah yang mungkin timbul di kemudian hari.
Dalam penelitian ini ia merekomendasikan beberapa hal yang berkaitan dengan pengembangan resolusi konflik antar umat beragama melalui pendekatan kewarganegaraan dengan cara pandang untuk melihat konflik antar umat beragama yang selama ini digunakan perlu diubah, dengan terlebih dahulu melakukan penelitian lebih mendalam dan komprehensif terhadap beberapa kasus konflik yang berbeda dan di tempat berbeda pula.
”Kasus Yasmin lebih merupakan persoalan kebijakan publik, maka pendekatan pendidikan kewarganegaraan sebagai kajian dan proses demokrasi, penegakan hak asasi manusia, dan masyarakat sipil, perlu dan penting untuk dipergunakan baik untuk meneliti, menyikapi, maupun untuk bahan pertimbangan menyusun resolusi konflik,” kata Dr. Achmad Zainuri.
Dengan semakin tergerusnya pendidikan kewarganegaraan dalam proses melihat kasus Yasmin, dirasa sangat penting untuk mengevaluasi secara kritis pelaksanaan dan praktik pendidikan kewarganegaraan di lembaga pendidikan formal. Evalusasi kritis ini sangat urgen demi perbaikan sistem dan metodologi agar paraktik pendidikan kewarganegaraan berdampak luas terhadap pembangunan kesadaran warga masyarakat sejak dini.
“Pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan perlu untuk diperluas, tidak hanya di sekolah formal, tetapi sampai ke masyarakat pada umumnya. Hal itu penting agar kontinuitas pengetahuan dan kesadaran warga masyarakat untuk hidup berdampingan secara damai di tengah pergumulan majemuk dapat terus dipupuk dan terjaga,” tegasnya.
Pilihan konsep kewarganegaraan yang mengerucutkan kekuasaan secara sentralistik dan otoriter, menempatkan kedaulatan pada elite politik dan tidak pada warga atau rakyat, perlu ditinjau ulang. Kewarganegaraan perlu dikembalikan pada konsep dan praktinya yang mengatur relasi warga negara secara seimbang dan simbolis di mana kedaulatan berada pada warga atau rakyat.
Dengan dikembalikannya kewarganegaraan pada penciptaan keseimbangan hubungan warga negara, keragaman, kebhinekaan, keberbagaian, dan kemajemukan akan dapat dijaga dan dikembangkan sebagai sumber energi utama dinamika perjalanan bangsa. Dengan mengembalikan kedaulatan pada rakyat, tiadanya sentralisasi dan kemanunggalan, dan terjaganya kebhinekaan, setiap kebijakan publik diwajibkan dapat memeratakan kesejahteraan, menciptakan keadilan, menegagkan supremasi hukum, demokrasi, dan masyarakat sipil.
“Dengan terciptanya kesejahteraan, keadilan, supremasi hukum, demokrasi, dan masyarakat sipil, konflik sosial dapat diinstitusionalisasi atau diregulasi menjadi kekuatan dinamika sebuah bangsa,” ujar Dr. Achmad Zainuri. (Deny/Andri)