Banyak hal yang menjadi penyebab manusia tergelincir dari jalan Tuhan, salah satunya adalah KEKUASAAN. Kita berusaha mengkaji apa ihwal kekuasaan tersebut. Apakah kekuasaan harus identik dengan tindakan sewenang-wenang ataukah tetap istiqomah dalam keadilan? Itu terserah orang yang sedang berkuasa.
Ini ada wacana tentang kekuasaan, sebagai berikut:
Sebelum kita mengupas permasalahan yang berkaitan dengan
kekuasaan kita perlu mengkaji dulu pengertian kekuasaan secara umum.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau kelompk lain, sedemikian
rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan
tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Gejala kekuasaan ini
adalah gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat, dalam semua
bentuk hidup bersama.
Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, dalam arti bahwa satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah. Satu pihak yang memberi perintah dan satu pihak yang mematuhi perintah. Tidak ada persamaan martabat, selalu yang satu lebih tinggi daripada yang lain dan selalu da unsur paksaan dalam hubungan kekuasaan.
Salah seorang filsof yang menaruh perhatian intensif pada konsep kekuasaan adalah Machiavelli. Machiavelli hidup di Florence, Italia, pada Abad XVI (1469-1527) pada masa di mana perubahan besar yang menyertakan konflik tengah terjadi. Perubahan besar itu disebabkan oleh karena rumitnya nilai-nilai Abad Pertengahan yang ketika menyediakan iklim hirarki yang begitu kental, “ketertiban-yang menakutkan”, sampai dengan persoalan penyalahgunaan doktrin katolik guna kepentingan segelintir aktor sebagai akibat dari gelombang resistensi protestanisme yang sangat besar.
Machiavelli memanfaatkan situasi masa lampau itu (buruknya citra penguasa Abad Pertengahan) dengan menuangkan idenya tentang kekuasaan dalam bukunya, II Principle tersebut kini (dan pada masanya) sangat monumental sekaligus klasik yang membahas cara pandang kekuasaan dalam pendekatan yang sama sekali berbeda dengan pemahaman-pemahaman orang-orang pada Abad Pertengahan. Walau ia menitikberatkan konsep kekuasaannya pada kekerasan di mana menurutnya, para penguasa yang tidak setuju menggunakan kekerasan dalam aktivifas dalam berpolitik tidak akan memperoleh kekuasan yang optimal atau bahkan akan kehilangan kekuasaan yang dimilikinya. Namun, hasilnya pada bagian lain menerangkan bahwa penggunaan kekerasan yang terlalu berlebihan pun akan mengakibatkan konsekuensi yang negatif bagi penguasa itu sendiri. Karena itu, selain menebar ketakutan ia pun harus mampu menebar charisma bagi actor lain (individu maupun kelompok), sehingga, menurutnya lebih lanjut penguasa tidak hanya harus mampu menjadi seekor “serigala” tetapi juga ia musti mampu menjadi seekor “rubah”. Tapi ide lain yang begitu berbeda dengan zaman sebelumnya adalah, Machiavelli menggagas bentuk negara modern. Ia rnengatakan bahwa republik adalah bentuk negara yang cocok bagi negara-negara modern; yang sama sekali berbeda dengan rezim Monarki Absolut (seperti yang mengada pada Abad pertengahan). Dalam perspektifnya, Negara Republik adalah negara yang didasarkan atas kesepakatan bersama. Dalam bentuk ini (konsep kesepakatan bersama atau kemudian dikenal dengan istilah kontrak social, misalnya, gagasan Machiavelli diterima sangat luas oleh penerus-penerus pemilihannya, diantaranya adalah: Jean Jacques Rousseau, Alexander Hamilton, James Madison dan lain-lain. Lanjutnya, bentuk Negara Republik tidak menyediakan ruang yang sangat luas bagi kekuasaan absolut. Tetapi kekuasaan tersebar kepada diri-diri individu yang berdaulat, seperti juga yang disampaikan oleh Gene Sharp dalam bukunya The Politics of Nonviolent Action (1973).
Melalui gambaran tersebut di atas, secara tidak langsung, kita akan mendapat gambaran bahwakekuasaan selalu melekat pada negara. Lebih khusus lagi kekuasaan identik dengan penyelenggaraan negara yakni : pemerintah. Pemerintah dapat membuat kita mentaati apa-apa yang diminta olehnya. pemerintah membuat aturan, regulasi, dan produk hukum lainnya dalam rangka mengatur perikehidupan warga negaranya.
Kekuasaan seperti halnya “cinta” merupakan kata yang tidak pernah bosan-bosannya dipakai dalam pembicaraan sehari-hari. Ia mudah dipahami secara intuitif, tetapi jarang di definisikan. Dalam pengertian yang paling umum, kekuasaan mengacu kepada suatu jenis pengaruh yang dimanfaatkan oleh si objek, individu, atau kelompok terhadap yang lainnya. Seperti yang dikemukakan Dahl dalam artikel penelitiannya pada International Encyclopaedia of the Social Science (dalam Roderick Martin: 70) mengatakan bahwa istilah kekuasaan dalam ilmu sosial modern adalah “mengacu kepada bagian perangkat hubungan diantara satuan-satuan social seperti pada perilaku satu atau lebih satuan yang dalam keadaan tertentu tergantung kepada perilaku satuan-satuan yang lain”.
Kebanyakan teoritis sosiologi mendefinisikan kekuasaan dalam pengertian yang lebih sempit, yakni “sebagai suatu jenis hubungan yang khas diantara para objek, antara pribadi-pribadi dengan kelompok”. Dari definisi yang demikian ini, yang paling berpengaruh adalah yang dikemukakan Weber (dalam Roderick Martin:70) bahwa “kekuasaan adalah kemungkinan seorang perilaku mewujudkan keinginannya didalam suatu hubungan social yang ada termasuk dengan kekuatan tanpa menghiraukan landasan yang menjadi pijakan kemunkinan itu”.
Dimensi ini memberikan pangkal pijak bagi kebanyakan diskusi-diskusi dan konsep-konsep yang modern. Dahl misalnya mengemukakan dalam makalahnya yang berpengaruh, On the Concept of Power menurutnya kekuasaan digambarkan seperti A mempunyai kekuasaan terhadap B sejauh ia bias menyebabkan B melakukan sesuatu yang B sendiri tidak bias berbuat lain, (dalam Roderick Martin: 71).
Psikolog sosial Michigan, French dan Raven menggunakan definisi yang sama dalam membahas teori lapangannya Lewin mengenai kekuasaan. Menurutnya kekuasaan “adalah kemampuan potensial dari seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi yang lainnya didalam system yang ada”, (dalam Roderick Martin: 71). Tetapi penghalusan terhadap konsep Weber yang kini tampaknya paling menonjol disodorkan oleh Dahrendorf dan Blau. Merekalah yang berhasil menembus kelemahan tertentu yang ada pada teori-teori Weber, sebagaimana yang tampak umumnya pada pengembangan pendekatan Weber.
Setelah secara blak-blakan mendukung definisi Weber, kemudian Dahrendorf mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu-individu daripada milik struktur sosial”, (dalam Roderick Martin: 71). Perbedaan yang penting adalah kekuasaan dengan otoritas terletak pada kenyataan bahwa kalau kekuasaan pada hakekatnya diletakan pada kepribadian individu, maka otoritas selalu dikaitkan dengan posisi atau peranan sosial-kekuasaan, selalu merupakan suatu hubungan yang faktual, sedangkan otoritas merupakan suatu hubungan yang logis.
Perumusan yang menghilangkan wujud hubungan kekuasaan yang tidak terstruktur atau yang terjadi secara berulang-ulang ini merupakan sumber utama yang memunculkan konflik sosial.
Pengertian Legitimasi Kekuasaan
Legitimasi (Inu Kencana: 1997: 52) adalah suatu tindakan perbuatan dengan hokum yang berlaku, atau perbuatan yang ada, baik secara hokum formal, etis, adat istiadat, maupun hokum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara syah.
Jadi dalam legitimasi kekuasaan, bila seorang pemimpin menduduki jabatan dan memiliki kekuasaan secara legitimasi (legitimate power) adalah bila yang bersangkutan mengalami pengangkatan, sehingga dengan demikian yang bersangkutan dianggap abash memangku jabatannya dan menjalankan kekuasaannya.
Secara etimologis legitimasi berasal dari bahasa Latin “Lex” yang berasal hokum. Kata legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal, dan legitim. Sesuatu yang tidak legal (biasa disebut dengan istilah ilegal) dianggap di luar peraturan yang syah, kendati peraturan itu sendiri bisa diciptakan oleh perbuatannya, kecuali hukum Allah yang sudah terpatri.
Oleh karena hal-hal yang disampaikan di atas itulah, maka legitimasi kekuasaan sangat penting, karena seseorang perebut kekuasaan lalu selanjutnya akan membuat hukum dan melaksanakan segala sesuatunya. Dengan demikian legitimasi juga mesti dikaitkan dengan norma dan agama. Di dalam pendemokrasian pemerintahan, legitimasi kekuasaan diimbangi dengan adanya pembagian kekuasaan.
Setelah secara legitimasi memperoleh kedudukan dengan abash, maka serta merta yang bersangkutan memiliki kekuasaan. Kekuasaan sendiri berasal dari kata “kuasa” yang berarti mampu, sanggup, dapat, atau kuat. Kekuasaan (Inu Kencana, 1997 :53) adalah kesempatan seseorang atau kelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkan terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu.
Kekuasaan senantiasa ada di dalam setiap masyarakat baik yang masih bersahaja maupun yang sudah besar atau rumut susunannya. Akan tetapi walaupun selalu ada kekuasaan tidak dapat dibagi rata pada semua anggota masyarakat. Jadi kekuasaan dapat diidentifikasikan dari hasil pengaruh yang diinginkan seseorang atau sekelompok orang. Sehingga dengan demikian dapat merupakan suatu konsep kuantitatif, karena dapat dihitung hasilnya. Misalnya berapa luas wilayah jajahan seseorang, berapa banyak orang yang berhasil dipengaruhi, berapa lama yang bersangkutan berkuasa, berapa banyak uang dan barang yang dimilikinya.
Dari uraian tersebut dimuka, berarti secara filsafati kekuasaan dapat meliputi ruang, waktu, barang dan manusia. Tetapi pada galibnya kekuasaan itu ditunjukan pada diri manusia, terutama kekuasaan pemerintahan dalam negara. Akan halnya kekuasaan negara dalam menguasai masyarakatnya, memiliki otoritas dan kewenangan. Otoritas dalam arti hak untuk memiliki legitimasi kekuasaan, dan sedangkan kewenangan dalam arti hak untuk ditaati.
Sebagai suatu kekuasaan yang dilembagakan, pemerintahan suatu negara tidak hanya tampak bagaikan kenyataan memiliki kekuasaan, tetapi juga diakui mempunyai hak untuk menguasai. Wewenang yang dimiliki suatu pemerintahan negara, dapat saja dipertanyakan apakah memiliki keabsahan atau tidak, misalnya bila ada kabinet dimensioner pada suatu sistem pemerintahan negara, lalu berdiri kabinet tandingan sebagai kabinet bayangan, apakah masyarakat mempercayai dan mengakuinya.
Sumber Kekuasaan
Ada beberapa cara yang perlu diketahui, mengapa seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan. Menurut John French and Reaven (dalam Fred Luthans ; 390) mengatakan terdapat lima klasifikasi kekuasaan yaitu, Reward power, coersive power, legitimate power, expert power, referent power. Inu Kencana (1997: 54) merinci sumber kekuasaan tersebut yang dapat diperoleh dengan cara :
1. Legitimate Power
Legimate berarti pengangkatan, jadi legimate power adalah perolehan kekuasaan melalui pengangkatan. Sebagai contoh menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Kepala Wilayah tidak dipilih, tetapi diangkat, kecuali kepala wilayah dalam jabatan Bupati dan Gubernur.
2. Coersive Power
Coersive berarti kekuasaan, jadi coersive power adalah perolehan kekuasaan melalui cara kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan bersenjata, yang sudah jalan tentu di luar jalur konstitusional. Hal ini lazim disebut istilah kudeta (coup d’ etat).
Karena cara ini inkonstitusional, maka banyak kemungkinan setelah perebutan kekuasaan, sebagian besar peraturan perundang-undangan negara akan berubah, dan karena perubahan tersebut dilakukan secara mendadak, disebut juga dengan istilah revolusi.
Revolusi-revolusi besar yang menarik mata dunia, diantaranya yaitu:
a. jatuhnya Syah Iran ditandai dengan terusirnya Shah dan keluarganya, setelah Imam Ayatullah Rohullah Khomeini tiba dari pengasingannyadi Perancis.
b. Jatuhnya Presiden Niccolai Ceausescu dari Rumania ditandai dengan demonstrasi besar-besar dan pembantaian Ceausescu dan Permaisyurinya.
c. Jatuhnya kekaisaran Louis di Perancis ditandai dengan penyerbuan ke penjara Bastille dan pemotongan kepala raja keluarga.
3. Expert Power
Exspert berarti keahlian, jadi exspert power adalah perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang, maksudnya pihak yang mengambil kekuasaan memang memiliki keahlian untuk memangku jabatan tersebut. Perolehan kekuasaan seperti ini berlaku di negara demokrasi, karena sistem personalianyadalam memilih karyawan memakai merit system.
Suatu motto yang paling tepat untuk pengisian formasi dalam administrasi kepegawaian seperti ini adalah “menempatkan orang yang tepat pada posisi yang sebenarnya tepat” atau dikenal dengan istilah “the right man on the right place’’
4. Reward Power
Reward berarti pemberian, jadi reward power adalah perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian atau karena berbagai pemberian. Sebagai contoh perhatikan bagaimana orang-orang kaya dapat memerintah orang-orang miskin untuk bekerja dengan patuh. Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut hanya karena mengharapkan dan butuh sejumlah uang pembayaran (gaji).
Oleh seba itu salah satu faktor untuk memegang suatu tumpuk kekuasaan harus orang yang berada dan beruang. Tuang-tuan tanah dapat membayar centeng dan tukang pukul hanya karena adanya pembayaran yang teratur. Pada suasana kekratonan orang-orang ningrat relative tampak lebih kaya dibandingkan dengan rakyat jelata.
5. Reverent Power
Reverent berarti daya tarik, jadi reverent power adalah perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor utama mengapa seseorang ditentukan menjadi kepala, kemudian menguasai keadaan, namun daya tarik seperti postur tubuh, wajah yang rupawan dan penampilan, serta pakaian yang perlente dapat menentukan dalam mengambil perhatian orang lain, dalam usaha menjadi kepala.
Banyak orang yang tidak dapat memisahkan kekagumannya kepada Jenderal Charles de Gaulle, antara postur tubuhnya yang gagah dan tinggi besar dengan kecerdasannya mengepalai pemerintahan Perancis. Begitu juga Presiden keenam belas Amerika Serikat Abraham Lincoln, menjadi lebih terkenal sejak memelihara jenggotnya yang menutupi pipinya yang cekung sebelah kiri. Presiden ketiga puluh lima Amerika Serikat John F. Kennedy yang rupawan juga memanfaatkan kecantikan Madam Marlyn Monroe yang ukuran tubuhnya sempurna, untuk memenangkan pemilu dalam kampanye di Negara adikuasa tersebut.
6. Information Power
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin canggih (sophisticated) memasuki era globalisasi. Mulai dari globalisasi komunikasi sampai pada globalisasi kekuasaan, bahkan globalisasi mode sekalipun. Desah nafas kegentaran Presiden AS di negerinya bisa dilihat oleh sekejap orang awam di pedalaman Irian Jaya hanya dengan menonton pesawat televisi, dalam waktu beberapa detik, bermilyaran uang bisa berpindah dari suatu negara ke negara lain hanya dengan bantuan mesin facsimile, yang mengirimkan surat kuasa jarak jauh.
Pemerintah di suatu daerah terpencil senantiasa dijadikan suatu tempat bertanya, terlebih dalam timbulnya silang pendapat yang memerlukan pemecahan. Itulah sebabnya keinginan untuk mempecundangi pemimpin pemerintahan di wilayah yang masih tradisional relatif kecil dibandingkan wilayah yang mengaku pikiran moderat.
7. Connection Power
Connection berarti hubungan, mereka yang mempunyai hubungan yang luas dan banyak akan memperoleh kekuasaan yang besar pula, baik di lapangan poltik, maupun perekonomian. Dalam istilah sehari-hari kita kenal dengan “relasi”.
Oleh karena itu kita lihat di kantor-kantor baik pemerintah, maupun swasta, yang dalam mencari pekerja barunya masih berlaku spoil system, diperlukan koneksi (connection), bahkan lebih jauh lagi seseorang pejabat dapat memberi katabelence kepada pejabat lain agar pemborong kenalannya dimenangkan tender. Dalam system birokrasi yang menjalankan penugasan kerja ketat, dalam arti satu orang untuk satu jabatan sekalipun akan menjadi tidak berfungsi karena impersonalitas (semua pekerjaan tanpa pandang buku) dan tidak mengenal prioritas, dirancukan oleh sistem koneksi (hubungan ini).
Kekuasaan (The Liang Gie, 1981: 31) ialah “kemampuan untuk mengemudikan perilaku pihak lain”. Kemampuan tersebut bermaksud dilakukan untuk mencapai sesuatu maksud yang diinginkan oleh pihak yang memiliki kemampuan itu. Apa yang diinginkan oleh orang, golongan, organisasi, yang mempunyai kekuasaan itu bisa bermacam-macam, misalnya saja harta kekayaan seperti pada kerajaan-kerajaan dulu, keagungan suatu bangsa, suatu kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, atau terciptanya suatu dunia yang aman dan damai.
Kekuasaan itu tidak dengan sendirinya dimiliki oleh semua pihak. Agar memiliki kekuasaan harus melalui perjuangan, yaitu rangkaian usaha penuh rintangan dan pertentangan ditujukan untuk menguasai sumber-sumber kekuasaan dalam masyarakat maupun alam ini. Pada pihak yang belum memiliki kekuasaan, berlangsung usaha-usaha mencari kekuasaan.
Mencari kekuasaan (The Liang Gie, 1981: 32) adalah “usaha-usaha untuk memperbanyak kekuasaan atau memperkuat kekuasaan yang sudah ada pada suatu pihak”. Sebagai akibat dari perjuangan mencari kekuasaan itu, maka pada pihak yang telah memiliki kekuasaan terjadi usaha-usaha untuk mempertahankan kekuasaan supaya jangan hilang. The Liang Gie mengatakan bahwa mempertahankan kekuasaan adalah usaha-usaha menggunakan kekuasaan (misalnya menumpas pemberontakan), merintangi usaha-usaha pihak lain, mencari kekuasaan (misalnya dengan mengeluarkan larangan-larangan tertentu), atau membagi-bagi sebagian kekuasaan diantara beberapa pihak sehingga kekuasaan yang masih ada dapat terus dipertahankan.
Dimensi Kekuasaan
Untuk memahami keonsep kekuasaan secara menyeluruh, kekuasaan dapat diklasifikasikan dalam enam dimensi, yaitu meliputi: potensial dan aktual, positif dan negatif, konsensus dan paksaan, jabatan dan pribadi, implisit dan eksplisit, serta langsung dan tidak langsung (Charles F. Adrian. 1970).
Berikut akan dijelaskan dimensi-dimensi dari kekuasaan.
a. Potensial dan Aktual
Seseorang memiliki kekuasaan potensial, apabila ia memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan, senjata, tanah, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial, massa yang terorganisir, serta jabatan. Seseorang yang memiliki kekuasaan aktual, apabila ia menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya ke dalam kegiatan politik secara efektif.
b. Konsensus dan Paksaan
Dalam memahami kekuasaan seseorang harus pula membedakan kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan konsensus. Aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai perjuangan, pertentangan, dominasi, dan konflik. Tujuan yang ingin dicapai oleh elit politik tidak menyangkut masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya, aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang sedang berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan.
Perbedaan dimensi kekuasan ini menyangkut dua hal, yaitu alasan penataan dan sarana kekuasaan yang digunakan. Pada umumnya alasan untuk menaati kekuasaan paksaan berupa rasa takut. Selain itu, alasan untuk menaati kekuasaan konsensus pada umumnya berupa persetujuan secara sadar dari pihak yang dipengaruhi. Kekuasaan atas dasar paksaan memang nyata merupakan cara yang paling efektif untuk mndapatkan kekuasaan.
Sarana kekuasaan yang digunakan untuk mendapatkan ketaatan dengan kekuasan paksaan dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu sarana paksaan fisik, sarana paksaan ekonomi, dan sarana paksaan psikologik. Sedangkan sarana kekuasaan konsensus menggunakan sarana-sarana, seperti nilai kebaikan bersama, moralitas dan ajaran agama, keahlian, dan popularitas pribadi terkenal untuk mendapatkan ketaatan kekuasaan. Sarana kekuasaan ini memerlukan waktu dan upaya untuk menjelaskan dan meyakinkan orang lain sehingga mengerti, sadar, dan menaati apa yang dikehendaki pemegang kekuasaan.
c. Positif dan Negatif
Pemegang kekuasaan untuk mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan ini dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda, yaitu tujuan positif ialah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dipandang penting dan diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif ialah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah pihak lain mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak perlu, tetapi juga merugikan pihaknya. Untuk menentukkan mana yang positif dan negatif diperlukan tolok ukur yang tegas dan disepakati bersama, seperti siatem nilai bangsa dan negara yang bersangkutan.
d. Jabatan dan Pribadi
Dalam masyarakat ayang maju kekuasaan berhubungan erat dalam jabatan-jabatan, seperti presiden, menteri, senator, dan lain-lain. Pada masyarakat maju, baik jabatan maupun kualitas pribadi yang menduduki jabatan merupakan sumber kekuasaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang sederhana, struktur masyarakat kekuasaan yang didasarkan atas kualitas pribadi tampak lebih menonjol dari pada kekuasaan yang terkandung dalam jabatan. Dalam hal ini, pemimpin melaksanakan kekuasaan khususnya terhadap orang dari pada terhadap lembaga-lembaga. Efektivitas kekuasaannya berasal dari kualitas pribadi, seperti kharisma, penampilan diri, dan keturunan.
e. Implisit dan Eksplisit
Kekuasaan implisit, yaitu pengaruh yang tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang secara jelas terlihat dan terasakan. Adanya kekuasaan implisit ini menimbulkan perhatian banyak orang pada segi rumit hubungan kekuasaan yang disebut asas memperkirakan reaksi pihak lain.
f. Langsung dan Tidak Langsung
Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melakukan hubungan secara langsung, tanpa melalui perantara. Sedangkan kekuasaan tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan.politik. Penggunaan dimensi kekuasaan ini ditentukan dengan pertimbangan dari segi efektivitas. Artinya, cara-cara yang akan digunakan dinilai mana yang akan dianggap lebih efektif.
Distribusi Kekuasaan
Sumber-sumber kekuasaan tidak pernah terdistribusikan secara merata dalam setiap masyarakat atau sistem politik. Hal ini bertolak belakang dengan paham demokrasi yang memostulatkan kekuasaan berada di setiap diri individu. Untuk memahami hal ini kiranya perlu kita mendalami logika kekuasaan yang terbangun di dalam masyarakat baik pada Negara-negara yang demokrasinya telah mapan maupun yang tidak. Ada tiga logika kekuasaan untuk memahami hal tersebut. Pertama, bahwa klas yang memerintah jumlahnya sedikit oleh karena jabatan-jabatan publik yang tersedia pun terbatas. Keterbatasan untuk memasukan ranah-ranah jabatan public sangat dimungkinkan oleh karena adanya perbedaan (kemampuan, keahlian, kapabilitas, kecakapan dan lain-lain) dalam setiap diri manusia. Perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan tidak semua individu dapat memiliki kekuasaan dalam konteks politik. Kedua, pendistribusian kekuasaan yang tidak merekat. Hal ini berkait dengan hal yang pertama. Di mana ketika ruang-ruang kekuasaan hanya tersedia sedikit maka pendistrubusian kekuasaan akan sangat tergantung pada merit sistem (pada kepemerintahan yang demokratis) dan kolusi dalam sistem yang tak demokratis. Dan, Ketiga, adanya kesamaan nilai politik penguasa mengenai kekuasaan yakni berusaha untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Ketika penguasa lama berusaha untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan sudah barang tentu ruang-ruang kekuasaan akan semakin sempit dan semakin menerbelakangkar kesempatan bagi masyarakat luas. Karena itu, dalam bagian ini kita akan membahas mengenai distribusi kekuasaan serta peralihan kekuasaan sebagai bentuk pendalaman pemahaman.
Setiap kekuasaan tidak terbagi secara merata, maka kewenangan dan atau kekuasaan (agar tidak berperilaku otoriter atau totaliter) harus dialihkan. Alasan lain mengapa kewenangan dan/atau kekuasaan perlu dialihkan adalah, bahwa semakin lama seseorang memegang suatu jabatan, semakin orang tersebut menganggap dan memperlakukan jabatan yang dipegangnya sebagai milik pribadi. Akibatnya, tidak hanya semakin tidak kreatif dia dalam melaksanakan fungsi dan perannya dalam bertugas tetapi juga semakin cenderung mungkin dalam menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Karena itu, peralihan kewenangan dari seseorang atau kelompok orang kepada orang atau kelompok lain merupakan suatu keharusan. Menurut Paul Conn (dalam Surbakti, 1992: 89) secara umum terdapat tiga cara peralihan kewenangan, yaitu sebagai berikut:
1. Turun-menurun, yang dimaksud dengan peralihan kewenangan secara turun menurun ialah jabatan atau kewenangan yang dialihkan kepada keturunan atau keluarga pemegang jabatan terdahulu. hal ini dapat dilihat dalam sistem Politik yang monarki dan/atau otokrasi tradisional.
2. Peralihan kewenangan dengan cara pemilihan, yakni peralihan kewenangan melakukan kontak sosial yang berbentuk pemilihan umum baik yang dilakukan secara langsung ataupun melalui badan perwakilan rakyat. Hal ini dipraktikan dalam sistem politik yang demokratis.
3. Peralihan kewenangan melalui paksaan peralihan kewenangan secara paksaan ialah jabatan atau kewenangan terpaksa dialihkan kepada orang atau kelompok lain dengan tidak menurut prosedur yang sudah disepakati tetapi melalui tindak inkonstitusional-kekerasan seperti paksaan tak berdarah, revolusi, dan atau kudeta.
Elite yang Memegang Kekuasaan
Dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol. Pertama, yaitu kelas yang memerintah yang terdiri atas sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan. Kedua, yaitu kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara berdasarkan hukum, dan paksaan (Gaetano Mosca, 1939:50)
Alasan yang menjadi dasar dari pemikiran ini. Pertama, setiap masyarakat tidak pernah terdapat distribusi kekuasaan secara merata. Mereka yang memiliki sumber kekuasaan politik, dan jumlah yang memiliki kekuasaan politik sedikit sekali. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam masyarakat. Kedua, Jumlah orang yang memerintah suatu masyarakat selalu lebih sedikit dari pada yang diperintah. Alasan itu yang mendasari elit politik dirumuskan sebagai kelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Ketiga, diantara elit politik terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-nilai, yang berarti mempertahankan status sebagai elit politik.
Model elitisme secara terinci diuraikan oleh dua ilmuwan (Thomas R. Dye dan Harmon Zeigler 1972 : 7 – 8). Mereka membagi masyarakat menjadi dua bagian , yaitu sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dan banyak orang yang tidak memiliki kekuasaan yang berarti. Hanya sekelompok kecil orang yang mempunyai kekuasaan itulah yang mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat atau hanya sekelompok kecil orang yang membuat dan melaksanakan keputusan politik.
Dalam konteks ini yang perlu digarisbawahi adalah pemahaman kita atas pembagian masyarakat yang terbelah menjadi, setidaknya, dua lapisan yakni: lapisan kelompok elite dan lapisan kelompok non-elite. Dari lapisan masyarakat yang terbelah menjadi dua tersebut, maka akan sangat mungkin terjadi perubahan kedudukan diantara mereka.
Konsep kekuasaan tidak terlepas dari konsep legitimasi. Legitimasi diartikan sebagai pembenaran moral atas wewenang (hak untuk berkuasa) dan dengan demikian menunjukkan bahwa sebagai segmen penduduk yang luas yakin bahwa penguasa memiliki hak moral untuk berkuasa (Andrain, 1992: 213). Ini artinya bahwa konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan penguasa. Lebih jelasnya apakah masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik yang mengikat masyarakat?? Jika warga menerima hak moral seseorang untuk berbuat sesuai dan mampu “mengikat” masyarakat, maka dapat dikatakan sang aktor tersebut memiliki legitimasi.
Legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melakanakan keputusan politik. Pihak yang memerintah tidak dapat memberikan legitimasi atas kewenangannya. Hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin pada konsep otoritas berbeda dengan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin pada konsep legitimasi. Pada konsep legitimasi hubungan pemimpin dan yang dipimpin lebih ditentukan oleh yang dipimpin arena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan hanya dapat berasal dari yang diperintah.
Secara umum terdapat dua alasan utama mengapa legitimasi menjadi penting bagi pemimpin pemerintahan, hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Legitimasi akan mendatangkan stabilitas politik dan kemungkinan-kemungkinan untuk perubahan sosial. pengakuan dan dukungan masyarakat pada pihak yang berwenang untuk memerintah tentu saja akan mmciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintah dapat membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan masyarakat umum guna kebaikan bersama. Dalam situasi yang sulit dan pelik, pemerintah yang memiliki legitimasi dari masyarakat akan lebih dapat mengatasi permasalahannya daripada pemerintah yang kurang mendapatkan legitimasi. Pengakuan dan dukungan masyarakat yang luas akan mengurangi sarana paksaan fisik sehingga anggaran yang semula dimaksudkan untuk menyediakan sarana paksaan dapat diguakan untuk memenuhi kesejahteraan umum.
2. Konsekuensi yang muncul dengan adanya legitimasi adalah terbukanya ruang-ruang bagi pendayagunaan kekuasaan. Ini atinya dengan legitimasi penuh dan dukungan dengan wewenang yang sah akan memperkuat dan memperluas penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah untuk menuju tujuan negara. Namun juga perluasan bidang-bidang yang ditangani oleh pemerintah berarti semakin meningkatkan pengawasan atas penggunaan kewenangan pemerintah karena prinsip-prinsip legitimasi menyertai kewajiban-kewajiban yang perlu dipenuhi oleh penguasa dan pembatasan-pembatasan tertentu (Andrain: 192: 214- 215).
Banyak kesempatan yang dapat diperoleh dan digunakan oleh para aktor guna mendapatkan dukungan dan akuan dari warga masyarakat untuk menjadi pemimpin. Cara-cara yang seringkali digunakan untuk mendapatkan serta mempertahankan legitimasi dikelompokan kedalam tiga pendekatan, yakni: (1) Pendekatan Simbolis; (2) Pendekatan Prosedural, dan (3) Pendekatan Material (Surbakti 1992: 96-97).
1. Pendekatan Simbol
Dalam pendekatan ini untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan legitimasi, pendekatan ini mendorong upaya pemanipulasian kecenderungan-kecenderungan moral, kepercayaan, tradisi, dan nilai-nilai budaya pada umumnya dalam bentuk simbol-simbol. Penggunaan simbol-simbol cenderung bersifat ritualistik, sakral, retorik, dan mercusuar. Sebagai contoh pengangkatan menteri dari berbagai unsur partai politik sehingga masyarakat merasa pemimpin yang dipilihnya melakukan azas keadilan dalam sistem kepemerintahan. Penggunaan metode ini terutama memerlukan kepekaan dan kemampuan nengidentifikasikan kecenderungan-kecenderungan moral, tradisi, kepercayaan, dan nilai-nilai budaya yang dominan dalam masyarakat.
2. Pendekatan Prosedural
Pendekatan ini lebih mengedepankan cara-cara prosedural dalam mendapatkan dan/atau mempertahankan kekuasaan. Sebagai misal, penyelenggaraan pemilihan umum untuk menentukan para wakil rakyat dan presiden dan wakil presiden. Penggunaan metode procedural atau pemilihan umum, yang dilakukan pada dasarnya sebagai upaya pencarian pemimpin atau anggota dewan yang baik melalui kompetisi yang adil.
3. Pendekatan material
Pendekatan ini lebih pada suatu upaya dalam mendapatkan dan/atau mempertahankan legitimasi dengan cara menjanjikan dan memberikan kesejahteraan material kepada masyarakat seperti kesempatan kerja, menjamin ketersediaan bahan pokok, infrastruktur yang layak, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik, dan kesempatan berusaha dan modal yang memadai.
Legitimasi dibutuhkan atau diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur lain di dalam suatu sistem politik. Menurut Charles F. Andrain (1992: 204).
Legitimasi dapat saja pudar dan hilang dari diri aktor-aktor yang sebelumnya memiliki legitimasi kuat atau bahkan sangat kuat. Menuruf Lucian Pye (dalam Surbakti, 1992: 99-100) ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hilangnya legitimasi yang diawali dengan terjadinya krisis legitimasi. Krisis legitimasi dapat terjadi karena (1) prinsip-prinsip kewenangan lama beralih ke prinsip-prinsip kewenangan yang lebih baru, karena prinsip kewenangan lama tidak lagi diakui oleh warga masyarakat, (2) persaingan yang tajam dan tidak sehat serta tak disalurkan melalui prosedur yang seharusnya, sehingga terjadi perpecahan di dalam tubuh pemerintah (3) pemerintah tak mampu memenuhi janji-janjinya pada warga yang mengakibatkan kekecewaan (yang disalurkan baik dalam bentuk partisipasi konvesnasional maupun nonkonvensional), dan (4) sosialisasi (politik) tentang kewenangan yang mengalami perubahan.
Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, dalam arti bahwa satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah. Satu pihak yang memberi perintah dan satu pihak yang mematuhi perintah. Tidak ada persamaan martabat, selalu yang satu lebih tinggi daripada yang lain dan selalu da unsur paksaan dalam hubungan kekuasaan.
Salah seorang filsof yang menaruh perhatian intensif pada konsep kekuasaan adalah Machiavelli. Machiavelli hidup di Florence, Italia, pada Abad XVI (1469-1527) pada masa di mana perubahan besar yang menyertakan konflik tengah terjadi. Perubahan besar itu disebabkan oleh karena rumitnya nilai-nilai Abad Pertengahan yang ketika menyediakan iklim hirarki yang begitu kental, “ketertiban-yang menakutkan”, sampai dengan persoalan penyalahgunaan doktrin katolik guna kepentingan segelintir aktor sebagai akibat dari gelombang resistensi protestanisme yang sangat besar.
Machiavelli memanfaatkan situasi masa lampau itu (buruknya citra penguasa Abad Pertengahan) dengan menuangkan idenya tentang kekuasaan dalam bukunya, II Principle tersebut kini (dan pada masanya) sangat monumental sekaligus klasik yang membahas cara pandang kekuasaan dalam pendekatan yang sama sekali berbeda dengan pemahaman-pemahaman orang-orang pada Abad Pertengahan. Walau ia menitikberatkan konsep kekuasaannya pada kekerasan di mana menurutnya, para penguasa yang tidak setuju menggunakan kekerasan dalam aktivifas dalam berpolitik tidak akan memperoleh kekuasan yang optimal atau bahkan akan kehilangan kekuasaan yang dimilikinya. Namun, hasilnya pada bagian lain menerangkan bahwa penggunaan kekerasan yang terlalu berlebihan pun akan mengakibatkan konsekuensi yang negatif bagi penguasa itu sendiri. Karena itu, selain menebar ketakutan ia pun harus mampu menebar charisma bagi actor lain (individu maupun kelompok), sehingga, menurutnya lebih lanjut penguasa tidak hanya harus mampu menjadi seekor “serigala” tetapi juga ia musti mampu menjadi seekor “rubah”. Tapi ide lain yang begitu berbeda dengan zaman sebelumnya adalah, Machiavelli menggagas bentuk negara modern. Ia rnengatakan bahwa republik adalah bentuk negara yang cocok bagi negara-negara modern; yang sama sekali berbeda dengan rezim Monarki Absolut (seperti yang mengada pada Abad pertengahan). Dalam perspektifnya, Negara Republik adalah negara yang didasarkan atas kesepakatan bersama. Dalam bentuk ini (konsep kesepakatan bersama atau kemudian dikenal dengan istilah kontrak social, misalnya, gagasan Machiavelli diterima sangat luas oleh penerus-penerus pemilihannya, diantaranya adalah: Jean Jacques Rousseau, Alexander Hamilton, James Madison dan lain-lain. Lanjutnya, bentuk Negara Republik tidak menyediakan ruang yang sangat luas bagi kekuasaan absolut. Tetapi kekuasaan tersebar kepada diri-diri individu yang berdaulat, seperti juga yang disampaikan oleh Gene Sharp dalam bukunya The Politics of Nonviolent Action (1973).
Melalui gambaran tersebut di atas, secara tidak langsung, kita akan mendapat gambaran bahwakekuasaan selalu melekat pada negara. Lebih khusus lagi kekuasaan identik dengan penyelenggaraan negara yakni : pemerintah. Pemerintah dapat membuat kita mentaati apa-apa yang diminta olehnya. pemerintah membuat aturan, regulasi, dan produk hukum lainnya dalam rangka mengatur perikehidupan warga negaranya.
Kekuasaan seperti halnya “cinta” merupakan kata yang tidak pernah bosan-bosannya dipakai dalam pembicaraan sehari-hari. Ia mudah dipahami secara intuitif, tetapi jarang di definisikan. Dalam pengertian yang paling umum, kekuasaan mengacu kepada suatu jenis pengaruh yang dimanfaatkan oleh si objek, individu, atau kelompok terhadap yang lainnya. Seperti yang dikemukakan Dahl dalam artikel penelitiannya pada International Encyclopaedia of the Social Science (dalam Roderick Martin: 70) mengatakan bahwa istilah kekuasaan dalam ilmu sosial modern adalah “mengacu kepada bagian perangkat hubungan diantara satuan-satuan social seperti pada perilaku satu atau lebih satuan yang dalam keadaan tertentu tergantung kepada perilaku satuan-satuan yang lain”.
Kebanyakan teoritis sosiologi mendefinisikan kekuasaan dalam pengertian yang lebih sempit, yakni “sebagai suatu jenis hubungan yang khas diantara para objek, antara pribadi-pribadi dengan kelompok”. Dari definisi yang demikian ini, yang paling berpengaruh adalah yang dikemukakan Weber (dalam Roderick Martin:70) bahwa “kekuasaan adalah kemungkinan seorang perilaku mewujudkan keinginannya didalam suatu hubungan social yang ada termasuk dengan kekuatan tanpa menghiraukan landasan yang menjadi pijakan kemunkinan itu”.
Dimensi ini memberikan pangkal pijak bagi kebanyakan diskusi-diskusi dan konsep-konsep yang modern. Dahl misalnya mengemukakan dalam makalahnya yang berpengaruh, On the Concept of Power menurutnya kekuasaan digambarkan seperti A mempunyai kekuasaan terhadap B sejauh ia bias menyebabkan B melakukan sesuatu yang B sendiri tidak bias berbuat lain, (dalam Roderick Martin: 71).
Psikolog sosial Michigan, French dan Raven menggunakan definisi yang sama dalam membahas teori lapangannya Lewin mengenai kekuasaan. Menurutnya kekuasaan “adalah kemampuan potensial dari seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi yang lainnya didalam system yang ada”, (dalam Roderick Martin: 71). Tetapi penghalusan terhadap konsep Weber yang kini tampaknya paling menonjol disodorkan oleh Dahrendorf dan Blau. Merekalah yang berhasil menembus kelemahan tertentu yang ada pada teori-teori Weber, sebagaimana yang tampak umumnya pada pengembangan pendekatan Weber.
Setelah secara blak-blakan mendukung definisi Weber, kemudian Dahrendorf mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu-individu daripada milik struktur sosial”, (dalam Roderick Martin: 71). Perbedaan yang penting adalah kekuasaan dengan otoritas terletak pada kenyataan bahwa kalau kekuasaan pada hakekatnya diletakan pada kepribadian individu, maka otoritas selalu dikaitkan dengan posisi atau peranan sosial-kekuasaan, selalu merupakan suatu hubungan yang faktual, sedangkan otoritas merupakan suatu hubungan yang logis.
Perumusan yang menghilangkan wujud hubungan kekuasaan yang tidak terstruktur atau yang terjadi secara berulang-ulang ini merupakan sumber utama yang memunculkan konflik sosial.
Pengertian Legitimasi Kekuasaan
Legitimasi (Inu Kencana: 1997: 52) adalah suatu tindakan perbuatan dengan hokum yang berlaku, atau perbuatan yang ada, baik secara hokum formal, etis, adat istiadat, maupun hokum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara syah.
Jadi dalam legitimasi kekuasaan, bila seorang pemimpin menduduki jabatan dan memiliki kekuasaan secara legitimasi (legitimate power) adalah bila yang bersangkutan mengalami pengangkatan, sehingga dengan demikian yang bersangkutan dianggap abash memangku jabatannya dan menjalankan kekuasaannya.
Secara etimologis legitimasi berasal dari bahasa Latin “Lex” yang berasal hokum. Kata legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal, dan legitim. Sesuatu yang tidak legal (biasa disebut dengan istilah ilegal) dianggap di luar peraturan yang syah, kendati peraturan itu sendiri bisa diciptakan oleh perbuatannya, kecuali hukum Allah yang sudah terpatri.
Oleh karena hal-hal yang disampaikan di atas itulah, maka legitimasi kekuasaan sangat penting, karena seseorang perebut kekuasaan lalu selanjutnya akan membuat hukum dan melaksanakan segala sesuatunya. Dengan demikian legitimasi juga mesti dikaitkan dengan norma dan agama. Di dalam pendemokrasian pemerintahan, legitimasi kekuasaan diimbangi dengan adanya pembagian kekuasaan.
Setelah secara legitimasi memperoleh kedudukan dengan abash, maka serta merta yang bersangkutan memiliki kekuasaan. Kekuasaan sendiri berasal dari kata “kuasa” yang berarti mampu, sanggup, dapat, atau kuat. Kekuasaan (Inu Kencana, 1997 :53) adalah kesempatan seseorang atau kelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkan terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu.
Kekuasaan senantiasa ada di dalam setiap masyarakat baik yang masih bersahaja maupun yang sudah besar atau rumut susunannya. Akan tetapi walaupun selalu ada kekuasaan tidak dapat dibagi rata pada semua anggota masyarakat. Jadi kekuasaan dapat diidentifikasikan dari hasil pengaruh yang diinginkan seseorang atau sekelompok orang. Sehingga dengan demikian dapat merupakan suatu konsep kuantitatif, karena dapat dihitung hasilnya. Misalnya berapa luas wilayah jajahan seseorang, berapa banyak orang yang berhasil dipengaruhi, berapa lama yang bersangkutan berkuasa, berapa banyak uang dan barang yang dimilikinya.
Dari uraian tersebut dimuka, berarti secara filsafati kekuasaan dapat meliputi ruang, waktu, barang dan manusia. Tetapi pada galibnya kekuasaan itu ditunjukan pada diri manusia, terutama kekuasaan pemerintahan dalam negara. Akan halnya kekuasaan negara dalam menguasai masyarakatnya, memiliki otoritas dan kewenangan. Otoritas dalam arti hak untuk memiliki legitimasi kekuasaan, dan sedangkan kewenangan dalam arti hak untuk ditaati.
Sebagai suatu kekuasaan yang dilembagakan, pemerintahan suatu negara tidak hanya tampak bagaikan kenyataan memiliki kekuasaan, tetapi juga diakui mempunyai hak untuk menguasai. Wewenang yang dimiliki suatu pemerintahan negara, dapat saja dipertanyakan apakah memiliki keabsahan atau tidak, misalnya bila ada kabinet dimensioner pada suatu sistem pemerintahan negara, lalu berdiri kabinet tandingan sebagai kabinet bayangan, apakah masyarakat mempercayai dan mengakuinya.
Sumber Kekuasaan
Ada beberapa cara yang perlu diketahui, mengapa seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan. Menurut John French and Reaven (dalam Fred Luthans ; 390) mengatakan terdapat lima klasifikasi kekuasaan yaitu, Reward power, coersive power, legitimate power, expert power, referent power. Inu Kencana (1997: 54) merinci sumber kekuasaan tersebut yang dapat diperoleh dengan cara :
1. Legitimate Power
Legimate berarti pengangkatan, jadi legimate power adalah perolehan kekuasaan melalui pengangkatan. Sebagai contoh menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Kepala Wilayah tidak dipilih, tetapi diangkat, kecuali kepala wilayah dalam jabatan Bupati dan Gubernur.
2. Coersive Power
Coersive berarti kekuasaan, jadi coersive power adalah perolehan kekuasaan melalui cara kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan bersenjata, yang sudah jalan tentu di luar jalur konstitusional. Hal ini lazim disebut istilah kudeta (coup d’ etat).
Karena cara ini inkonstitusional, maka banyak kemungkinan setelah perebutan kekuasaan, sebagian besar peraturan perundang-undangan negara akan berubah, dan karena perubahan tersebut dilakukan secara mendadak, disebut juga dengan istilah revolusi.
Revolusi-revolusi besar yang menarik mata dunia, diantaranya yaitu:
a. jatuhnya Syah Iran ditandai dengan terusirnya Shah dan keluarganya, setelah Imam Ayatullah Rohullah Khomeini tiba dari pengasingannyadi Perancis.
b. Jatuhnya Presiden Niccolai Ceausescu dari Rumania ditandai dengan demonstrasi besar-besar dan pembantaian Ceausescu dan Permaisyurinya.
c. Jatuhnya kekaisaran Louis di Perancis ditandai dengan penyerbuan ke penjara Bastille dan pemotongan kepala raja keluarga.
3. Expert Power
Exspert berarti keahlian, jadi exspert power adalah perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang, maksudnya pihak yang mengambil kekuasaan memang memiliki keahlian untuk memangku jabatan tersebut. Perolehan kekuasaan seperti ini berlaku di negara demokrasi, karena sistem personalianyadalam memilih karyawan memakai merit system.
Suatu motto yang paling tepat untuk pengisian formasi dalam administrasi kepegawaian seperti ini adalah “menempatkan orang yang tepat pada posisi yang sebenarnya tepat” atau dikenal dengan istilah “the right man on the right place’’
4. Reward Power
Reward berarti pemberian, jadi reward power adalah perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian atau karena berbagai pemberian. Sebagai contoh perhatikan bagaimana orang-orang kaya dapat memerintah orang-orang miskin untuk bekerja dengan patuh. Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut hanya karena mengharapkan dan butuh sejumlah uang pembayaran (gaji).
Oleh seba itu salah satu faktor untuk memegang suatu tumpuk kekuasaan harus orang yang berada dan beruang. Tuang-tuan tanah dapat membayar centeng dan tukang pukul hanya karena adanya pembayaran yang teratur. Pada suasana kekratonan orang-orang ningrat relative tampak lebih kaya dibandingkan dengan rakyat jelata.
5. Reverent Power
Reverent berarti daya tarik, jadi reverent power adalah perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor utama mengapa seseorang ditentukan menjadi kepala, kemudian menguasai keadaan, namun daya tarik seperti postur tubuh, wajah yang rupawan dan penampilan, serta pakaian yang perlente dapat menentukan dalam mengambil perhatian orang lain, dalam usaha menjadi kepala.
Banyak orang yang tidak dapat memisahkan kekagumannya kepada Jenderal Charles de Gaulle, antara postur tubuhnya yang gagah dan tinggi besar dengan kecerdasannya mengepalai pemerintahan Perancis. Begitu juga Presiden keenam belas Amerika Serikat Abraham Lincoln, menjadi lebih terkenal sejak memelihara jenggotnya yang menutupi pipinya yang cekung sebelah kiri. Presiden ketiga puluh lima Amerika Serikat John F. Kennedy yang rupawan juga memanfaatkan kecantikan Madam Marlyn Monroe yang ukuran tubuhnya sempurna, untuk memenangkan pemilu dalam kampanye di Negara adikuasa tersebut.
6. Information Power
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin canggih (sophisticated) memasuki era globalisasi. Mulai dari globalisasi komunikasi sampai pada globalisasi kekuasaan, bahkan globalisasi mode sekalipun. Desah nafas kegentaran Presiden AS di negerinya bisa dilihat oleh sekejap orang awam di pedalaman Irian Jaya hanya dengan menonton pesawat televisi, dalam waktu beberapa detik, bermilyaran uang bisa berpindah dari suatu negara ke negara lain hanya dengan bantuan mesin facsimile, yang mengirimkan surat kuasa jarak jauh.
Pemerintah di suatu daerah terpencil senantiasa dijadikan suatu tempat bertanya, terlebih dalam timbulnya silang pendapat yang memerlukan pemecahan. Itulah sebabnya keinginan untuk mempecundangi pemimpin pemerintahan di wilayah yang masih tradisional relatif kecil dibandingkan wilayah yang mengaku pikiran moderat.
7. Connection Power
Connection berarti hubungan, mereka yang mempunyai hubungan yang luas dan banyak akan memperoleh kekuasaan yang besar pula, baik di lapangan poltik, maupun perekonomian. Dalam istilah sehari-hari kita kenal dengan “relasi”.
Oleh karena itu kita lihat di kantor-kantor baik pemerintah, maupun swasta, yang dalam mencari pekerja barunya masih berlaku spoil system, diperlukan koneksi (connection), bahkan lebih jauh lagi seseorang pejabat dapat memberi katabelence kepada pejabat lain agar pemborong kenalannya dimenangkan tender. Dalam system birokrasi yang menjalankan penugasan kerja ketat, dalam arti satu orang untuk satu jabatan sekalipun akan menjadi tidak berfungsi karena impersonalitas (semua pekerjaan tanpa pandang buku) dan tidak mengenal prioritas, dirancukan oleh sistem koneksi (hubungan ini).
Kekuasaan (The Liang Gie, 1981: 31) ialah “kemampuan untuk mengemudikan perilaku pihak lain”. Kemampuan tersebut bermaksud dilakukan untuk mencapai sesuatu maksud yang diinginkan oleh pihak yang memiliki kemampuan itu. Apa yang diinginkan oleh orang, golongan, organisasi, yang mempunyai kekuasaan itu bisa bermacam-macam, misalnya saja harta kekayaan seperti pada kerajaan-kerajaan dulu, keagungan suatu bangsa, suatu kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, atau terciptanya suatu dunia yang aman dan damai.
Kekuasaan itu tidak dengan sendirinya dimiliki oleh semua pihak. Agar memiliki kekuasaan harus melalui perjuangan, yaitu rangkaian usaha penuh rintangan dan pertentangan ditujukan untuk menguasai sumber-sumber kekuasaan dalam masyarakat maupun alam ini. Pada pihak yang belum memiliki kekuasaan, berlangsung usaha-usaha mencari kekuasaan.
Mencari kekuasaan (The Liang Gie, 1981: 32) adalah “usaha-usaha untuk memperbanyak kekuasaan atau memperkuat kekuasaan yang sudah ada pada suatu pihak”. Sebagai akibat dari perjuangan mencari kekuasaan itu, maka pada pihak yang telah memiliki kekuasaan terjadi usaha-usaha untuk mempertahankan kekuasaan supaya jangan hilang. The Liang Gie mengatakan bahwa mempertahankan kekuasaan adalah usaha-usaha menggunakan kekuasaan (misalnya menumpas pemberontakan), merintangi usaha-usaha pihak lain, mencari kekuasaan (misalnya dengan mengeluarkan larangan-larangan tertentu), atau membagi-bagi sebagian kekuasaan diantara beberapa pihak sehingga kekuasaan yang masih ada dapat terus dipertahankan.
Dimensi Kekuasaan
Untuk memahami keonsep kekuasaan secara menyeluruh, kekuasaan dapat diklasifikasikan dalam enam dimensi, yaitu meliputi: potensial dan aktual, positif dan negatif, konsensus dan paksaan, jabatan dan pribadi, implisit dan eksplisit, serta langsung dan tidak langsung (Charles F. Adrian. 1970).
Berikut akan dijelaskan dimensi-dimensi dari kekuasaan.
a. Potensial dan Aktual
Seseorang memiliki kekuasaan potensial, apabila ia memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan, senjata, tanah, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial, massa yang terorganisir, serta jabatan. Seseorang yang memiliki kekuasaan aktual, apabila ia menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya ke dalam kegiatan politik secara efektif.
b. Konsensus dan Paksaan
Dalam memahami kekuasaan seseorang harus pula membedakan kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan konsensus. Aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai perjuangan, pertentangan, dominasi, dan konflik. Tujuan yang ingin dicapai oleh elit politik tidak menyangkut masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya, aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang sedang berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan.
Perbedaan dimensi kekuasan ini menyangkut dua hal, yaitu alasan penataan dan sarana kekuasaan yang digunakan. Pada umumnya alasan untuk menaati kekuasaan paksaan berupa rasa takut. Selain itu, alasan untuk menaati kekuasaan konsensus pada umumnya berupa persetujuan secara sadar dari pihak yang dipengaruhi. Kekuasaan atas dasar paksaan memang nyata merupakan cara yang paling efektif untuk mndapatkan kekuasaan.
Sarana kekuasaan yang digunakan untuk mendapatkan ketaatan dengan kekuasan paksaan dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu sarana paksaan fisik, sarana paksaan ekonomi, dan sarana paksaan psikologik. Sedangkan sarana kekuasaan konsensus menggunakan sarana-sarana, seperti nilai kebaikan bersama, moralitas dan ajaran agama, keahlian, dan popularitas pribadi terkenal untuk mendapatkan ketaatan kekuasaan. Sarana kekuasaan ini memerlukan waktu dan upaya untuk menjelaskan dan meyakinkan orang lain sehingga mengerti, sadar, dan menaati apa yang dikehendaki pemegang kekuasaan.
c. Positif dan Negatif
Pemegang kekuasaan untuk mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan ini dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda, yaitu tujuan positif ialah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dipandang penting dan diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif ialah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah pihak lain mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak perlu, tetapi juga merugikan pihaknya. Untuk menentukkan mana yang positif dan negatif diperlukan tolok ukur yang tegas dan disepakati bersama, seperti siatem nilai bangsa dan negara yang bersangkutan.
d. Jabatan dan Pribadi
Dalam masyarakat ayang maju kekuasaan berhubungan erat dalam jabatan-jabatan, seperti presiden, menteri, senator, dan lain-lain. Pada masyarakat maju, baik jabatan maupun kualitas pribadi yang menduduki jabatan merupakan sumber kekuasaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang sederhana, struktur masyarakat kekuasaan yang didasarkan atas kualitas pribadi tampak lebih menonjol dari pada kekuasaan yang terkandung dalam jabatan. Dalam hal ini, pemimpin melaksanakan kekuasaan khususnya terhadap orang dari pada terhadap lembaga-lembaga. Efektivitas kekuasaannya berasal dari kualitas pribadi, seperti kharisma, penampilan diri, dan keturunan.
e. Implisit dan Eksplisit
Kekuasaan implisit, yaitu pengaruh yang tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang secara jelas terlihat dan terasakan. Adanya kekuasaan implisit ini menimbulkan perhatian banyak orang pada segi rumit hubungan kekuasaan yang disebut asas memperkirakan reaksi pihak lain.
f. Langsung dan Tidak Langsung
Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melakukan hubungan secara langsung, tanpa melalui perantara. Sedangkan kekuasaan tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan.politik. Penggunaan dimensi kekuasaan ini ditentukan dengan pertimbangan dari segi efektivitas. Artinya, cara-cara yang akan digunakan dinilai mana yang akan dianggap lebih efektif.
Distribusi Kekuasaan
Sumber-sumber kekuasaan tidak pernah terdistribusikan secara merata dalam setiap masyarakat atau sistem politik. Hal ini bertolak belakang dengan paham demokrasi yang memostulatkan kekuasaan berada di setiap diri individu. Untuk memahami hal ini kiranya perlu kita mendalami logika kekuasaan yang terbangun di dalam masyarakat baik pada Negara-negara yang demokrasinya telah mapan maupun yang tidak. Ada tiga logika kekuasaan untuk memahami hal tersebut. Pertama, bahwa klas yang memerintah jumlahnya sedikit oleh karena jabatan-jabatan publik yang tersedia pun terbatas. Keterbatasan untuk memasukan ranah-ranah jabatan public sangat dimungkinkan oleh karena adanya perbedaan (kemampuan, keahlian, kapabilitas, kecakapan dan lain-lain) dalam setiap diri manusia. Perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan tidak semua individu dapat memiliki kekuasaan dalam konteks politik. Kedua, pendistribusian kekuasaan yang tidak merekat. Hal ini berkait dengan hal yang pertama. Di mana ketika ruang-ruang kekuasaan hanya tersedia sedikit maka pendistrubusian kekuasaan akan sangat tergantung pada merit sistem (pada kepemerintahan yang demokratis) dan kolusi dalam sistem yang tak demokratis. Dan, Ketiga, adanya kesamaan nilai politik penguasa mengenai kekuasaan yakni berusaha untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Ketika penguasa lama berusaha untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan sudah barang tentu ruang-ruang kekuasaan akan semakin sempit dan semakin menerbelakangkar kesempatan bagi masyarakat luas. Karena itu, dalam bagian ini kita akan membahas mengenai distribusi kekuasaan serta peralihan kekuasaan sebagai bentuk pendalaman pemahaman.
Setiap kekuasaan tidak terbagi secara merata, maka kewenangan dan atau kekuasaan (agar tidak berperilaku otoriter atau totaliter) harus dialihkan. Alasan lain mengapa kewenangan dan/atau kekuasaan perlu dialihkan adalah, bahwa semakin lama seseorang memegang suatu jabatan, semakin orang tersebut menganggap dan memperlakukan jabatan yang dipegangnya sebagai milik pribadi. Akibatnya, tidak hanya semakin tidak kreatif dia dalam melaksanakan fungsi dan perannya dalam bertugas tetapi juga semakin cenderung mungkin dalam menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Karena itu, peralihan kewenangan dari seseorang atau kelompok orang kepada orang atau kelompok lain merupakan suatu keharusan. Menurut Paul Conn (dalam Surbakti, 1992: 89) secara umum terdapat tiga cara peralihan kewenangan, yaitu sebagai berikut:
1. Turun-menurun, yang dimaksud dengan peralihan kewenangan secara turun menurun ialah jabatan atau kewenangan yang dialihkan kepada keturunan atau keluarga pemegang jabatan terdahulu. hal ini dapat dilihat dalam sistem Politik yang monarki dan/atau otokrasi tradisional.
2. Peralihan kewenangan dengan cara pemilihan, yakni peralihan kewenangan melakukan kontak sosial yang berbentuk pemilihan umum baik yang dilakukan secara langsung ataupun melalui badan perwakilan rakyat. Hal ini dipraktikan dalam sistem politik yang demokratis.
3. Peralihan kewenangan melalui paksaan peralihan kewenangan secara paksaan ialah jabatan atau kewenangan terpaksa dialihkan kepada orang atau kelompok lain dengan tidak menurut prosedur yang sudah disepakati tetapi melalui tindak inkonstitusional-kekerasan seperti paksaan tak berdarah, revolusi, dan atau kudeta.
Elite yang Memegang Kekuasaan
Dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol. Pertama, yaitu kelas yang memerintah yang terdiri atas sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan. Kedua, yaitu kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara berdasarkan hukum, dan paksaan (Gaetano Mosca, 1939:50)
Alasan yang menjadi dasar dari pemikiran ini. Pertama, setiap masyarakat tidak pernah terdapat distribusi kekuasaan secara merata. Mereka yang memiliki sumber kekuasaan politik, dan jumlah yang memiliki kekuasaan politik sedikit sekali. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam masyarakat. Kedua, Jumlah orang yang memerintah suatu masyarakat selalu lebih sedikit dari pada yang diperintah. Alasan itu yang mendasari elit politik dirumuskan sebagai kelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Ketiga, diantara elit politik terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-nilai, yang berarti mempertahankan status sebagai elit politik.
Model elitisme secara terinci diuraikan oleh dua ilmuwan (Thomas R. Dye dan Harmon Zeigler 1972 : 7 – 8). Mereka membagi masyarakat menjadi dua bagian , yaitu sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dan banyak orang yang tidak memiliki kekuasaan yang berarti. Hanya sekelompok kecil orang yang mempunyai kekuasaan itulah yang mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat atau hanya sekelompok kecil orang yang membuat dan melaksanakan keputusan politik.
Dalam konteks ini yang perlu digarisbawahi adalah pemahaman kita atas pembagian masyarakat yang terbelah menjadi, setidaknya, dua lapisan yakni: lapisan kelompok elite dan lapisan kelompok non-elite. Dari lapisan masyarakat yang terbelah menjadi dua tersebut, maka akan sangat mungkin terjadi perubahan kedudukan diantara mereka.
Konsep kekuasaan tidak terlepas dari konsep legitimasi. Legitimasi diartikan sebagai pembenaran moral atas wewenang (hak untuk berkuasa) dan dengan demikian menunjukkan bahwa sebagai segmen penduduk yang luas yakin bahwa penguasa memiliki hak moral untuk berkuasa (Andrain, 1992: 213). Ini artinya bahwa konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan penguasa. Lebih jelasnya apakah masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik yang mengikat masyarakat?? Jika warga menerima hak moral seseorang untuk berbuat sesuai dan mampu “mengikat” masyarakat, maka dapat dikatakan sang aktor tersebut memiliki legitimasi.
Legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melakanakan keputusan politik. Pihak yang memerintah tidak dapat memberikan legitimasi atas kewenangannya. Hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin pada konsep otoritas berbeda dengan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin pada konsep legitimasi. Pada konsep legitimasi hubungan pemimpin dan yang dipimpin lebih ditentukan oleh yang dipimpin arena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan hanya dapat berasal dari yang diperintah.
Secara umum terdapat dua alasan utama mengapa legitimasi menjadi penting bagi pemimpin pemerintahan, hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Legitimasi akan mendatangkan stabilitas politik dan kemungkinan-kemungkinan untuk perubahan sosial. pengakuan dan dukungan masyarakat pada pihak yang berwenang untuk memerintah tentu saja akan mmciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintah dapat membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan masyarakat umum guna kebaikan bersama. Dalam situasi yang sulit dan pelik, pemerintah yang memiliki legitimasi dari masyarakat akan lebih dapat mengatasi permasalahannya daripada pemerintah yang kurang mendapatkan legitimasi. Pengakuan dan dukungan masyarakat yang luas akan mengurangi sarana paksaan fisik sehingga anggaran yang semula dimaksudkan untuk menyediakan sarana paksaan dapat diguakan untuk memenuhi kesejahteraan umum.
2. Konsekuensi yang muncul dengan adanya legitimasi adalah terbukanya ruang-ruang bagi pendayagunaan kekuasaan. Ini atinya dengan legitimasi penuh dan dukungan dengan wewenang yang sah akan memperkuat dan memperluas penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah untuk menuju tujuan negara. Namun juga perluasan bidang-bidang yang ditangani oleh pemerintah berarti semakin meningkatkan pengawasan atas penggunaan kewenangan pemerintah karena prinsip-prinsip legitimasi menyertai kewajiban-kewajiban yang perlu dipenuhi oleh penguasa dan pembatasan-pembatasan tertentu (Andrain: 192: 214- 215).
Banyak kesempatan yang dapat diperoleh dan digunakan oleh para aktor guna mendapatkan dukungan dan akuan dari warga masyarakat untuk menjadi pemimpin. Cara-cara yang seringkali digunakan untuk mendapatkan serta mempertahankan legitimasi dikelompokan kedalam tiga pendekatan, yakni: (1) Pendekatan Simbolis; (2) Pendekatan Prosedural, dan (3) Pendekatan Material (Surbakti 1992: 96-97).
1. Pendekatan Simbol
Dalam pendekatan ini untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan legitimasi, pendekatan ini mendorong upaya pemanipulasian kecenderungan-kecenderungan moral, kepercayaan, tradisi, dan nilai-nilai budaya pada umumnya dalam bentuk simbol-simbol. Penggunaan simbol-simbol cenderung bersifat ritualistik, sakral, retorik, dan mercusuar. Sebagai contoh pengangkatan menteri dari berbagai unsur partai politik sehingga masyarakat merasa pemimpin yang dipilihnya melakukan azas keadilan dalam sistem kepemerintahan. Penggunaan metode ini terutama memerlukan kepekaan dan kemampuan nengidentifikasikan kecenderungan-kecenderungan moral, tradisi, kepercayaan, dan nilai-nilai budaya yang dominan dalam masyarakat.
2. Pendekatan Prosedural
Pendekatan ini lebih mengedepankan cara-cara prosedural dalam mendapatkan dan/atau mempertahankan kekuasaan. Sebagai misal, penyelenggaraan pemilihan umum untuk menentukan para wakil rakyat dan presiden dan wakil presiden. Penggunaan metode procedural atau pemilihan umum, yang dilakukan pada dasarnya sebagai upaya pencarian pemimpin atau anggota dewan yang baik melalui kompetisi yang adil.
3. Pendekatan material
Pendekatan ini lebih pada suatu upaya dalam mendapatkan dan/atau mempertahankan legitimasi dengan cara menjanjikan dan memberikan kesejahteraan material kepada masyarakat seperti kesempatan kerja, menjamin ketersediaan bahan pokok, infrastruktur yang layak, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik, dan kesempatan berusaha dan modal yang memadai.
Legitimasi dibutuhkan atau diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur lain di dalam suatu sistem politik. Menurut Charles F. Andrain (1992: 204).
Legitimasi dapat saja pudar dan hilang dari diri aktor-aktor yang sebelumnya memiliki legitimasi kuat atau bahkan sangat kuat. Menuruf Lucian Pye (dalam Surbakti, 1992: 99-100) ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hilangnya legitimasi yang diawali dengan terjadinya krisis legitimasi. Krisis legitimasi dapat terjadi karena (1) prinsip-prinsip kewenangan lama beralih ke prinsip-prinsip kewenangan yang lebih baru, karena prinsip kewenangan lama tidak lagi diakui oleh warga masyarakat, (2) persaingan yang tajam dan tidak sehat serta tak disalurkan melalui prosedur yang seharusnya, sehingga terjadi perpecahan di dalam tubuh pemerintah (3) pemerintah tak mampu memenuhi janji-janjinya pada warga yang mengakibatkan kekecewaan (yang disalurkan baik dalam bentuk partisipasi konvesnasional maupun nonkonvensional), dan (4) sosialisasi (politik) tentang kewenangan yang mengalami perubahan.