Analisa: Dimanakah Tempat Hak Asasi Manusia di Indonesia?

IRIN
Berita dan Analisis Hak Asasi Manusia 
Sebuah kantor Layanan PBB untuk Koordinasi Urusan Hak Asasi Manusia
Analisa: Dimanakah Tempat Hak Asasi Manusia di Indonesia?
Jakarta, 26 Nopember 2012 (IRIN)
Para korban mendapat kekerasan tidak manusiawi di Indonesia, di negara dimana pengadilan-pengadilan untuk hak asasi manusia di gelar pada tahun 2000 namun belum memutuskan hukuman bagi para pelaku walau satu kasus. Para aparat hukum berhadapan dengan pilihan sulit membawa para pelaku demi keadilan.
Data yang didapat dari Komisi LSM untuk Orang Hilang dan Korban kekerasan (Kontras) memperkirakan adanya lebih dari satu juta orang yang mendapatkan perlakuan aniaya dalam kurun waktu tahun 1965 hingga 1988 dan terbanyak terjadi di era Pemerintahan Militer Presiden Suharto yang berakhir di tahun 1988 dengan pelengserannya.
“Kami mengalami kondisi yang sulit di negeri ini. Anda banyak menemukan kasus kekerasan kemanusiaan namun kondisinya tak ada satupun yang dianggap bersalah di dalam pengadilan hak asasi manusia,” kata Haris Azhar, Koordinator Kontras.
Pada tahun 2000 parlemen Indonesia membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk mendengar dan mengurus kasus-kasus besar kekerasan hak asasi manusia. Lebih dari 12 tahun sejumlah 12 kasus di gelar di empat Pengadilan Hak Asasi Manusia tanpa memutuskan hukuman bagi para pelaku.

Penghilangan Paksa
Pada kerusuhan pro demokrasi negeri ini di tahun 1988, langkah pertama Pemerintah saat itu terhadap para mahasiswa perguruan tinggi yang dihadapkan dengan rezim militer adalah penghilangan paksa atau penculikan.
Mugiyanto adalah salah satu korban yang ditangkap pada kerusuhan 1988.
“Mata saya ditutup dan selanjutnya siksaan dan interogasi berlangsung 4 hari yang dilakukan militer khusus. Kemudian mereka meyerahkan saya ke polisi dan memasukan saya ke penjara selama 3 bulan. Kemudian saya dilepaskan saat kepemimpinan berganti,” cerita Mugiyanto yang sekarang menjadi Ketua Asosiasi Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).
Pada bulan Mei 1988, Presiden Suharto mundur dan digantikan wakil Presiden Bachrudin Jusuf Habibie.
Mugiyanto menuturkan sebanyak 23 mahasiswa menghilang sedangkan 9 orang termasuk dia dilepaskan. Hingga saat ini 13 orang masih dinyatakan hilang termasuk Ucok Siahaan yang saat itu berusia 22 tahun dan hingga kini keluarganya masih menunggu kabar tentangnya.
“Dia pernah datang beberapa kali pada tahun 1988 dan setiap saat dia meminta kami untuk menyetok makanan dan kebutuhan pokok karena situasi politik di Jakarta sedang genting,” tutur ayahnya, Paian Siahaan 65 tahun. “ Pada bulan Mei dia menelepon kami dan mengatakan untuk tidak keluar rumah. Katanya bila terjadi sesuatu yang buruk pergi saja ke mesjid.”
Sejak itu keluarganya tidak pernah lagi mendengar kabarnya.
“kami marah kepada pemerintah,” kata Paian.” “Mereka selalu mengatakan akan menolong kami untuk mencari tahu apa yang terjadi tapi tak pernah ada hasil…”
Sampai sekarang orang tua Ucok Siahaan masih menunggu anak laki-lakinya.
“ Kami tidak ingin menuntut siapapun ke pengadilan,” katanya. “Kami hanya ingin tahu kabar anak kami. Jika dia meninggal kami akan melihat jenazahnya dan bisa dikuburkan di pekuburan keluarga. Kami semakin tua sekarangdan ingin hidup dengan damai namun hingga kini kami tidak tahu nasib anak laki-laki kami. Kami tidak tenang.”
Kondisi Kekejaman di Papua
Pada tahun-tahun terakhir para aktifis melaporkan kekerasan di wilayah jauh, Papua dimana konflik dengan para pemberontak bergolak pada 10 tahun terakhir ini.
Wilayah- wilayah yang kaya sumber alam (3000 km sebelah timur Jakarta) ialah Propinsi Papua dan Papua Barat namun memiliki perkembangan sumber daya manusia yang paling lambat di antara 33 propinsi di Indonesia.
Penihas Lokbere berasal dari Jayapura, Ibukota Propinsi Papua mengatakan dia adalah salah satu dari 105 orang yang ditangkap polisi pada tahun 2000 di Universitas kota Abepura (sekitar 10 Km dari Jayapura).
Berdasarkan catatan Human Right Watch, sekelompok orang yang tidak dikenal menyerang pos polisi di Abepura dan menewaskan dua polisi serta satu orang satpam.
“Polisi ingin membalas,” kata Lokbere. “Mereka datang ke asrama kami saat kami sedang tidur dan mereka menangkap kami tanpa menanyai kami satu katapun.”
Bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya, Lokbere dipenjara selama tiga hari, di sana dia disiksa, diikat dan dipukul dengan senjata besi. Namun hingga sekarang tak ada satupun polisi itu yang dihukum.
Sebuah Laporan gabungan tahun 2012 dari Pusat Internasional untuk Peralihan Keadilan (ITCJ) dan berdasarkan laporan Institut Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia yang berbasis di Abepura (ELSHAM) menyatakan adanya 750 kasus kekerasan kemanusiaan di Papua dari tahun 1960 hingga 2012 termasuk penangkapan sewenang-wenang, penahanan, penyiksaan dan pembunuhan.
Paul Mambrasar , perwakilan ELSHAM mengatakan jumlah kekrasan yang terjadi sebenarnya lebih banyak. “ Namun banyak korban yang tidak siap untuk berbicara tentang apa yang terjadi. Propinsi Papua dimiliterisasi dan orang-orang takut memberikan informasi karena mereka kan disiksa pihak militer atau polisi.”
Di wilayah Papua selama satu dasawarsa terakhir terjadi perlawanan dari para pemberontak karena kemandekan perwujudan Pemerintahan otonomi khusus (yang diberikan pada tahun 2001); masyarakat memiliki keterbatasan akses untuk mendapatkan kekayaan sumber alam seperti emas, tembaga dan kayu; terdapat tindakan kekerasan terhadap para demonstran politik.
Josef Roy Benedict, seorang pegiat Amnesti Internasional untuk Indonesia yang berkantor di London menyatakan kekerasan kemanusiaan yang terjadi di negara ini telah menjadi budaya dan pelakunya kebal hukum.
“Para aparat polisi hanya dihukum karena pelanggaran kedisiplinan dan kerap proses pengadilannya diadakan tertutup sementara itu pula pelanggaran yang dilakukan pihak militer ditangani dengan sistem hukum militer yang jauh dari independensi dan keadilan,” Ujar Benedict.
Penganiayaan Terhadap Orang-orang Ahmadiyah
Berdasarkan data LSM Setara Institute terdapat hampir 130 Pelanggaran kebebasan beragama di seluruh negeri dari bulan Januari hingga Juni 2012. Dan terbanyak terjadi di Jawa Barat yakni terhadap kelompok minoritas agama seperti pengikut Ahmadiyah, sebuah aliran Islam beranggotakan 500.000 di seluruh Indonesia. Aliran ini memiliki banyak kesamaan keyakinan dengan pengikut Suni.
Pada bulan Pebruari 2011 lalu seorang pengikut Ahmadiyah, Ahmad Masihudidin (22 tahun) berkunjung ke sebuah kampung di luar Jakarta . Dia bersama pengikut Ahmadiyah lainnya diserang di kampung tersebut oleh kelompok keras Islam yang tidak mengakui Ahmadiyah sebagai Islam.
“Masa berjumlah sedikitnya 1000 orang dan Kami (para pengikut Ahmadiyah) hanya berjumlah sedikit. Kami berlari namun saya tertangkap, “ cerita Masihudddin. “Mereka menggusur saya di sawah, menyabet pergelangan tangan dengan golok dan memukuli dengan bambu. Mereka mengatakan ingin memotong alat vital saya.”
Saat itu dia berteriak kepada para penyerang jika dia adalah orang Islam dan itu menghentikan tindakan mereka. “Mereka berpikir saya adalah salah satu dari antara mereka kaum Suni,” katanya. Islam Suni adalah pengikut terbesar Islam di Indonesia.
Tiga orang teman Masihuddin terbunuh di dalam serangan itu. Para pelaku dihukum tiga hingga enam bulan penjara yang menurut Masihuddin tidak sebanding dengan kejahatan mereka.
Harkristuti Harkrisnowo, Direktur Umum hak Asasi Manusia di Kementerian Hukum dan Hak Asasi mengakui hukuman-hukuman itu terlalu ringan dan meminta para penegak hukum untuk bertindak lebih banyak untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas.
“Di lapangan saat ini terdapat kelompok-kelompok radikal yang terang-terangkan mengancam kelompok-kelompok minoritas,” katanya. “polisi mendapat banyak kesulitan untuk menindak kelompok-kelompok keras ini, namun pemerintah harus berusaha menangani kekerasan.”
Pada tahun 2008 Pemerintah Indonesia mengeluarkan SKB Menteri yang melarang para pengikut Ahmadiyah menyebarkan ajaran mereka atas dasar pendiri gerakan ini dianggap menyimpang dari Islam mayoritas di dalam ajaran-ajarannya.
Kelompok-kelompok garis keras telah menggunakan Keputusan menteri itu sebagai pembenaran atas serangan mereka terhadap para pengikut Ahmadiyah. Sebenarnya keputusan itu dikeluarkan untuk melindungi para pengikut ini.
”Mereka tidak diperbolehkan melakukan kegiatan di muka umum demi keamanan mereka karena jika mereka melakukannya mereka memancing kekerasan terhadap mereka sendiri,” ujarnya.
“Namun kendati tidak melakukan kegiatan ibadah di muka umum mereka masih saja diserang,” kata Malik Saifurrahman, seorang anggota Ahmadiyah dari pulau Lombok yang berjarak sekitar 1200 Km dari Jakarta. Sejak tahun 2002, rumah keluarganya dirusak oleh para penyerang di empat kejadian terpisah sebelum itu benar-benar dibakar habis pada tahun 2006.
“Terdapat banyak serangan atas rumah-rumah para pengikut Ahmadiyah yang memaksa sejumlah 300 orang utuk pindah,” ujar Saifurrahman dan dia menambahkan tidak mengenal para pelaku penyerangan.
Sekarang saya pindah ke Jakarta untuk belajar, dan keluarga saya tinggal di tempat penampungan milik pemerintah di Mataram yang dibangun untuk para pengikut Ahmadiyah yang rumahnya dibakar habis,” katanya. “Awalnya pemerintah memberikan bantuan makanan dan air namun sekarang berhenti.”
Harkrisnowo menyatakan dia tidak mengetahui apakah aparat pemerintah akan membangun kembali rumah para Ahmadi yang terlantar.
Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Agama Internasional di dalam laporan tahun 2012 mencatat sedikitnya 50 mesjid pengikut Ahmadiyah diserang dan 36 mesjidnya ditutup paksa sejak tahun 2008 walaupun undang-undang Indonesia menjamin kebebasan memeluk agama.
“Menjamin kebebasan ini secara konstitusional menjadi sulit bagi negara ini, kata Harkrisnowo. “Pemerintah pusat harus lebih tegas menyelesaikan isu ini.”
Perselisihan Legal
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan nama Komnas HAM adalah badan independen yang komisinya ditunjuk pemerintah untuk memonitor kekerasan, memberikan advokasi atas para korban dan mengadakan penyelidikan tentang pelanggaran kekerasan. Tugas Kejaksaan Agung adalah memeriksa sejumlah dugaan kasus kecuali yang terjadi di tahun 2000 yang sudah ditangani Pengadilan Hak Asasi Manusia ad-hoc yang dibentuk dengan keputusan Presiden.
Azhar dari Kontras mengatakan Komnas HAM telah merekomendasikan 7 kasus untuk ditangani pemerintah melalui pengadilan ad-hoc dan semuanya ditolak.
Harkrisnowo menyatakan minimnya tuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia sejauh ini bukan karena tidak adanya kebijakan politik tapi karena terlalu sedikit bukti yang ada.
“Di dalam setiap kasus, para petugas telah menelaah apakah terdapat banyak bukti atau apakah ada kesalahan secara prosedur resmi dan setiap saat mereka telah memutuskan bahwa tidak ada yang ditemukan bersalah,” katanya kepada IRIN.
Upaya-upaya menciptakan mekanisme legal lainnya untuk tuntutan terhadap pelanggaran hak asasi manusia menemui kegagalan.
Langkah-langkah berikutnya
Pengadilan konstitusi negara ini menyatakan undang-undang tahun 2006 tentang kebenaran dan rekonsiliasi adalah inkonstitusional karena ketentuan yang membuat ganti rugi bagi para korban juga disesuaikan dengan keringanan yang dikeluarkan bagi para pelaku. Pemerintah sedang mencoba mengeluarkan undang-undang baru.
Indonesia adalah negara yang secara Internasional mengakui hak-hak sipil dan politik (ICCPR) dan meratifikasi perjanjian melawan kekerasan dan tindakan aniaya lainnya yang biadab atau perlakuan dan hukuman yang keji.
Tapi negara ini belum menandatangani dan meratifikasi undang-undang Roma, perundingan yang membentuk Pengadilan Kriminal Internasional pada tahun 2002.
Harkrisnowo menyatakan pemerintah sedang mempersiapkan untuk meratifikasi undang-unang Roma dan Konvensi Internasional untuk penghilangan paksa.
Translator: Iin Qurrotul Ain binti T Hidayatullah

Jubilee Khilafat

Love For All...

Ayaddahu Biruhil Qudus

Harap Kembali, pintu selalu terbuka.

Jazakumullah ahsanal jaza... Terimakasih atas kunjungannya, semoga diberkahi dan lain kali berkunjung kembali.